Pandemi Covid-19, Agenda Neoliberalisme dan Revitalisasi Ekonomi Pancasila
|
Pendahuluan
Yuval Noah Harari dalam bukunya yang
berjudul Homo Deus, pernah memprediksi bahwa
epidemic besar akan terus membahayakan manusia pada masa depan hanya jika umat
manusia sendiri menciptakannya, demi kepentingan ideologi yang kejam.[1]
Beberapa tahun kemudian prediksi Harari terbukti! Pada 17 November 2019, salah
satu warga di Wuhan Provinsi Hubei Republik Rakyat Cina menderita penyakit
pneumonia.
Pada awal ditemukan penyakit ini
bernama 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV). Rabu 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi
mengumumkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Pandemi Covid-19 membongkar
misteri manusia. Kini manusia sedang dikendalikan oleh misteri pandemi
Covid-19. Manusia begitu rapuh di hadapan pandemi Covid-19 ini. Kekuasaan
Negara dan kekuatan algoritma teknologi pun ikut tunduk di hadapan pandemi ini.
Pandemi Covid-19 membuat para
pemimpin Negara panik dan dilema. Presiden Amerika, Donald Trump menyebut Cina
sebagai dalang pandemi Covid-19.[2]
Donald Trump meminta pertanggungjawaban Cina yang telah melepaskan pandemi
Covid-19 ke seluruh dunia. Pada 3 Agustus 2020, Presiden Filipina, Rodrigo
Duterte mengatakan: “But don’t scream
revolution right and left… try it… Let’s kill all those are infected by Covid.”[3]
Di tengah pandemi Covid-19 ini,
tragadi kemanusiaan tampak akan masif.[4] WHO
sendiri memprediksi pandemi berlangsung lama. Pandemi menyerang sistem ekonomi
di Negara-negara Industri maju dan Negara-negara berkembang. Dunia akan
menghadapi resesi ekonomi yang lebih buruk daripada depresi besar tahun
1930-an. Juni 2020, International
Monetary Fund (IMF) memprediksi pandemi Covid-19 merusak ekonomi dunia
lebih buruk dari angka prediksi yang dikeluarkan sebelumnya.
Indonesia sendiri berpotensi resesi jauh lebih berat ketimbang krisis
moneter 1998, karena pandemi Covid-19. September 2020 lalu, Sri Mulyani mengatakan perkiraan
perekonomian Indonesia sangat tergantung perkembangan pandemi Covid-19. Indonesia dipastikan masuk ke jurang resesi
akibat pandemi Covid-19.
Pandemi
Covid-19 Vs Agenda Neoliberalisme Pasar
Para pemikir ekonomi modern berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi menentukan perkembangan
kualitas peradaban manusia. Ekonomi yang stabil dan teknologi yang canggih
mampu menunjang peningkatan taraf kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran
manusia.
Tak ayal sekitar pada dekade kedua
abad ke-20, kapitalisme disulap menjadi neoliberalisme. Tahun 1977 Asia
diterkam oleh krisis ekonomi dan keuangan.[5]
Negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan
Inggris sudah di tubir resesi ekonomi. Pada dekade yang sama, negara-negara
berkembang di Amerika Latin dilanda krisis ekonomi dan pengisapan. Sejak
pertengahan tahun 1970-an, sistem ekonomi neoliberal mendapat sambutan baik
oleh munculnya Margaret Thatcher di panggung politik Inggris. Di Amerika
Serikat agenda neoliberalisme ini dijemput baik oleh Ronal Reagan, dari Partai
Republik. Agenda neoliberalisme ini sebetulnya dirancang, didikte dan
ditunggangi oleh triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan WTO) sejak 1997.
Thatcher dan Reagan mempropagandakan
agenda ekonomi sistem neoliberalis. Kaum neoliberal menggalakkan privatisasi
pasar, pajak harus diturunkan dan peranan Negara atas kekuasaan ekonomi
dikendalikan. Pada saat itu, ekonomi Amerika Serikat dan Inggris bangkit lagi.
“Neoliberalisme, kata Giddens, menimbulkan dampak yang lebih kecil di sebagian
besar negara di Eropa Kontinental daripada di wailayah Kerajaan Inggris,
Amerika Serikat, Australisa, dan Amerika Latin”.[6]
Sistem ekonomi neoliberal mempropagandakan imperatif-imperatif pasar bekisar
pada empat kredonya: “pertumbuhan ekonomi yang stabil (sustained economic growth), pasar bebas (free markets), globalisasi ekonomi (economi globalization), dan privatisasi (privatization)”.[7]
David Harvey mengatakan bahwa,
“neoliberalisme adalah lembaga
pertama sebuah teori ekonomi politik yang mengusulkan bahwa cara terbaik untuk
memperoleh kesejahteraan manusia ialah dengan membebaskan usaha-usaha bisnis
dan keterempilan individu dalam susunan kelembagaan yang ditandai dengan strong private property rights
(hak-hak milik pribadi yang kuat), free
markets (pasar bebas), and free trade
(perdagangan bebas)”.[8]
Demi pertumbuhan ekonomi, kaum
kapitalis mengabaikan dan menolak segala bentuk nilai-nilai tradisional, norma
agama, etika keutamaan, struktur-struktur sosial, keutuhan ekologis, sistem
ekonomi-politik dan agenda geopolitik suatu Negara. Neoliberalisme juga sangat
mengecam isu mulitkulturalisme dan demokrasi. Giddens berpendapat bahwa “tak
ada kekuatan yang lebih besar yang dapat membubarkan tradisi selain ‘revolusi
permanen’ kekuatan pasar.[9]
Mekanisme kompetitif pasar memperlemah otoritas tradisional dan memecah-belah
komunitas-komunitas lokal.[10]
Di Indonesia, pasca-reformasi 1998
ada desakan liberalisasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Hal ini sebabkan
oleh proses neokolonialisme Indonesia sejak November 1967. Tumbangnya Bung
Karno, seolah-olah Indonesia melanggengkan penguasaan investor asing dan
investor domestik untuk mengeksploitasi dan mengisap masyarakat Indonesia. Sejak Suharto kekayaan Indonesia dikuasai segelintir
kelompok/ oligarki.[11]
Dalam usaha meningkatkan pembangunan
manusia secara universal, Negara-negara di dunia ditantang oleh pandemi
Covid-19. Stabilitas ekonomi nasional dapat dilihat dari peningkatan ekonomi
sejalan dengan pembangunan manusia. Untuk konteks Indonesia, menurut Razali
Ritonga, “kemunduran pembangunan manusia pernah terjadi pada tahun 1997”.[12]
Ritonga menulis, “nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami penurunan
dari 67,7 sebelum krisis pada tahun 1996 dan naik menjadi 64,3 sesudah krisis
tahun 1999”. Pembangunan manusia dan peningkatan ekonomi saling berkontribusi
secara progresif-produktif bagi kemajuan suatu Negara. Anggapan bahwa kebebasan
pasar dapat mengamankan tatanan masyarakat global pasca-pandemi Covid-19, tidak
menjamin sama sekali.
Pandemi
Covid-19 dan Neoliberalisme Mengangkangi Kemanusiaan Kita
Giddens menulis “neoliberalisme
menciptakan risiko-risiko dan ketidakpastian baru yang menurutnya
(neoliberalisme) tak perlu diindahkan oleh para warga masyarakat”.[13]
Selain itu, kata Giddens, “neoliberalisme mengabaikan basis sosial pasar itu
sendiri, yang bergantung pada bentuk-bentuk komunal yang tak dipedulikan oleh
fundamentalisme pasar”.[14]
Demikian juga dengan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 menciptakan
risiko-risiko besar dan merumuskan era ketidakpastian baru bagi masyarakat
global. Risiko-risiko itu tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi, sosial,
politik, agama, pendidikan dan kebudayaan, tetapi terutama bagi kemanusiaan
kita. Sampai saat ini, sekitar jutaan orang meninggal karena pandemi Covid-19
ini. Pandemi beroperasi mengangkangi batas-batas kesanggupan manusia.
Seperti agenda neoliberalisme,
pandemi Covid-19 seoloh-olah mendukung kebebasan pasar dan perdagangan bebas
tanpa kendali. Sejak pandemi ini mencengkeram seluruh sistem politik ekonomi
dan geopolitik seluruh Negara, dunia seakan-akan dibisukan. Jauh sebelum
pandemi, kaum kapitalis neoliberal telah membentangkan jangkar pasar ke seluruh
dunia. Alih-alih mewaspadai serangan pandemi Covid-19, masyarakat miskin di
dunia justru diterkam oleh praktik ekonomi neoliberal secara kontinuitas,
struktural, sistemik dan penuh rahasia.
Pandemi Covid-19 bisa menjadi
peluang bagi segelintir orang super kaya di dunia. Mekanisme pasar bebas masih
diberlakukan di tengah pandemi, meskipun secara terang-terangan melanggar
sistem ekonomi yang dianut oleh suatu Negara. Misalnya di Indonesia, yang
menganut sistem ekonomi Pancasila yang diatur berdasarkan Konsitusi yaitu pasal
33 UUD 1945 dan Pancasila. Untuk konteks Indonesia, sistem ekonomi neoliberal
jelas menyesatkan dan menyengsarakan sebagian besar masyarakat miskin. Praktik
neoliberal kapitalistik terbukti melalui pelbagi produk perundangan-undangan
yang bersifat liberal.[15]
Tragisnya, privatisasi dilakukan
dengan menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada pihak asing.[16]
Liberalisasi dilakukan dengan menghilangkan proteksi dan subsidi.[17]
Akibatnya, dengan fasilitas yang mudah, modal yang dasyat dan imperatif
mekanisme pasar bebas, investor asing yang neoliberal masuk ke Indonesia.
Giddens menggunakan kiasan Juggerment
(truk besar) untuk menjelaskan situasi dunia modern ini.[18] Tidak ada
satu pun manusia dapat mengontrol dan menghentikan serangan pandemi Covid-19
dan propaganda neoliberalisme ini. Masyarakat dunia sedang berada dalam
kubangan panik, berpasrah entah kepada siapa dan mengharapkan pandemi ini
segera berlalu.
Dunia sedang diterpa oleh
ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Giddens menyebut ketidakpastian dengan
istilah manufactured uncertainty.[19]
Situasi ketidakpastian ini tidak disebabkan oleh seleksi alam a la Darwinisme,
tetapi oleh ulah manusia sendiri dengan algoritma teknologi yang diciptakannya.
Teknologi canggih dan penelitian-penelitan bioteknologi dapat menimbulkan
pelbagai krisis, seperti polusi udara, pemanasan global, desertifikasi,
tipisnya lapisan ozon, dan pelbagai jenis penyakit (Covid-19).
Situasi ketidakpastian (manufactured uncertainty) ini serentak
mengantar manusia kepada situasi konsekuensi risiko tinggi (high consequence risk). Di tengah
tragedi kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini, mau tidak mau manusia harus
mengambil dan mengalami banyak risiko, termasuk risiko akibat mekanisme pasar
bebas tak terkendali. Apakah sistem ekonomi neoliberalisme benar-benar dapat
mengatasi ketimpangan ekonomi—ketimpangan kemanusiaan kita—di tengah pandemi Covid-19 ini?
Saya sependapat dengan Slavoj Žižek
bahwa “mekanisme pasar tidak akan cukup mencegah kekacauan dan kelaparan.”[20]
Paus Fransiskus juga pernah mengatakan bahwa “kerapuhan sistem dunia dalam
menghadapi pandemi telah menunjukkan bahwa tidak semuanya dapat diselesaikan
dengan kebebasan pasar.”[21]
Resesi ekonomi adalah juga resesi kemanusiaan kita. Tanpa pemenuhan stabilitas
ekonomi, manusia hidup melampaui ambang batas kritis dan tidak dapat hidup.
Oleh karena itu, Indonesia mesti merivitalisasi sistem Ekonomi Pancasila demi
keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat.
Merevitalisasi
Sistem Ekonomi Pancasila
Indonesia harus merevitalisasi
sistem ekonomi Pancasila. Negara membantu dunia perusahaan produksi demi
kepentingan seluruh rakyat. Negara wajib melindungi pihak yang lemah, kaum
buruh dan keselamatan pasar tenaga kerja. Lebih dari itu Negara bertugas
mengatur kebijakan ekonomi nasional sebagai keseluruhan. Di sini Negara membuat
peraturan dan undang-undang yang mengatur agenda kebijakan ekonomi dan anggaran
nasional demi kepentingan seluruh rakyat bukan kepentingan segelintir orang/
oligarki.[22]
Indonesia harus mewujudnyatakan
sistem ekonomi nasional dengan cita-cita: keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam wadah yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[23] Ekonomi
Pancasila mampu menyumbat sistem ekonomi neoliberal yang dipropagandakan oleh
triumvirat Washington (IMF, Bank Dunia dan WTO) itu. Ekonomi Pancasila harus
mendiskreditkan sistem “free fight
liberalisme” yang berdampak pada praktik eksploitasi terhadap sumber-sumber
dasar produksi ekonomi dan pelaku ekonomi, yakni rakyat Indonesia. Ekonomi
Pancasila harus meminimalisasikan sistem etatisme dalam Negara dan aparatur
ekonomi negara yang bersifat dominan, mendesak dan menjenazahkan potensi
kreatifitas ekonomi swasta. Ekonomi Pancasila diusahakan sebagai usaha bersama
untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Tidak ada seorang pun masyarakat miskin
dapat mengontrol propaganda sistem ekonomi neoliberal yang dikonsolidasikan
oleh segelintir orang super kaya di dunia. Demikain juga, tak ada satu pun yang
dapat mengendalikan dan memusnahkan pandemi Covid-19 ini. Neoliberalisme dan
pandemi Covid-19 adalah dua kekuatan yang mahadasyat saat ini. Keduanya
mengejar objek yang sama, yaitu manusia. Siapa yang kuat, ia selamat. Akan
tetapi, siapa yang lemah, pasti tamat!
Menurut saya, sistem ekonomi
Pancasila ini sejalan dengan semangat kekeluargaan, gotong-royong (solidaritas)
dan kerja sama di Indonesia. Ekonomi Pancasila mesti menjadi landasan dalam
setiap agenda pembangunan ekonomi dan penyususun anggaran nasional. Tugas
Negara harus mengendalikan kekuasaan dan kekuatan kaum kapitalis neoliberal di
tengah ancaman resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Akan tetapi Negara
tidak boleh mengendalikan secara total sampai menghimpit daya tarik investor
asing dan investor domestik. Kerja sama ekonomi transnasional mutlak dibutuhkan
demi meningkatkan kualitas perekonomian nasional, namun Negara tetap
memerhatikan modus-risiko yang akan timbul.
Ekonomi Pancasila merevitalisasi
kesadaran kita akan kekeluargaan, persoalan keagaman (solidaritas), etika,
moral, kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kewarganegaraan kita.
Masalah-masalah struktural dan sistemik seperti ketimpangan ekonomi,
pengisapan, pencaplokan dan eksploitasi terhadap subjek dan tujuan ekonomi
(rakyat sendiri—kemanusiaan) dapat diatasi dengan penerapan sistem ekonomi
Pancasila. Dengan demikian kemanusiaan kitalah yang akan mengangkangi pandemi
Covid-19 dan agenda neoliberalisme.
Daftar
Pusataka
Buku:
Beck, Ulrich. The Risk Society (London: Sage, 1992).
Francis,
Fary Djemy dan Desmond Junaidi Mahesa. Menggugat
Logika APBN. Politik Anggaran Fraksi GERINDRA di Badan Anggaran DPR RI
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2012).
Giddens, Anthony. Beyond Left and Right (Cambridge: Polity
Press, 1994).
-----------------------. The Consequences of Modernity
(Standford: Standford University Press, 1990).
-----------------------. The Third Way. The Renewal of Social
Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999).
Gilarso, T. Ekonomi Indonesia. Sebuah Pengantar 1
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986).
Harari, Yuval Noah. Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka
Alvabet, Cet. 3, 2018).
Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press
Inc., 2005).
Jebadu, Aleksander. Drakula Abad-21. Membongkar Kejahatan Sistem
Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba
& Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2020).
Schenker,
Jason. Masa Depan Dunia Setelah Covid-19.
Perubahan, Tantangan, dan Peluang sebagai Sektor Kehidupan Pasca-pandemi,
penerj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2020).
Steger, Manfred B. and Ravi K. Roy. Neoliberalism. A Very Short Introduction
(New York: Oxford, 2010).
Winters, Jeffrey A. Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).
Manuskrip
dan Koran:
Jebadu, Alex. Politik Ekonomi Pasar Bebas.
Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba (m.s).
Ritonga, Razali. “Ancaman Kemunduran
Pembangunan Manusia”, dalam KOMPAS,
edisi Rabu 14 Oktober 2020.
Internet:
Castaneda,
Jason. “Duterte Blasts Doctors As COVID Crisis Spirals”, dalam ASIATIMES.Com, https://asiatimes.com/2020/08/duterte-blasts-doctors-as-covid-crisis-spirals/,
diakses pada 6 Oktober 2020.
Deni,
Melkisedek. “UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja”, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/10/09/uu-cipta-kerja-mencekik-rakyat-pekerja/, diakses pada 13 Oktober
2020.
DW,
“Paus Fransiskus: Kapitalisme Gagal Melindungi Kemanusiaan Selama Pandemi
Corona”, dalam DW. Com,https://www.dw.com/id/ensiklik-baru-paus-fransiskus-tentang-kegagalan-kapitalisme-dan-pandemi-corona/a-55157130,
diakses pada 7 Oktober 2020.
Nichols,
Michelle dan Steve Holland. “ U.S.-China Tensions Take Center Stage At U.N. as
Trump Accuses Beijing of Unleashing 'Plague'”, dalam Reuters, https://www.reuters.com/article/us-un-assembly/u-s-china-tensions-take-center-stage-at-u-n-as-trump-accuses-beijing-of-unleashing-plague-idUSKCN26D2FN?il=0,
diakses pada 6 Oktober 2020.
Putri,
Gloria Setyvani. "WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi
Global", dalam KOMPAS. COM, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all,
diakses pada Senin, 5 Oktober 2020.
Siregar,
Fajri. “Apa Guna 'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020.
Žižek,
Slavoj. “Kita Semua Berada dalam Perahu yang Sama Sekarang [Terjemahan atas
Buku Slavoj Žižek “Pan(Dem)ic, Covid-19 Shakes The World”] (2)”, penerj.
Silvano Keo Bhaghi, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/06/15/kita-semua-berada-dalam-perahu-yang-sama-sekarang-terjemahan-atas-buku-slavoj-zizek-pandemic-covid-19-shakes-the-world-2/,
diakses pada 7 Oktober 2020.
[1] Yuval Noah Harari, Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Jakarta:
PT Pustaka Alvabet, Cet. 3, 2018), hlm. 15.
[2] Michelle Nichols dan Steve Holland,“
U.S.-China Tensions Take Center Stage At U.N. as Trump Accuses Beijing of
Unleashing 'Plague'”, dalam Reuters, https://www.reuters.com/article/us-un-assembly/u-s-china-tensions-take-center-stage-at-u-n-as-trump-accuses-beijing-of-unleashing-plague-idUSKCN26D2FN?il=0, diakses pada 6 Oktober 2020.
[3] Jason Castaneda,“Duterte Blasts Doctors As
COVID Crisis Spirals”, dalam ASIATIMES.Com,
https://asiatimes.com/2020/08/duterte-blasts-doctors-as-covid-crisis-spirals/, diakses pada 6 Oktober 2020.
[4] Jason Schenker, Masa Depan Dunia Setelah Covid-19. Perubahan, Tantangan, dan Peluang
sebagai Sektor Kehidupan Pasca-pandemi, penerj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT
Pustaka Alvabet, 2020), hlm. 171.
[5] Manfred B. Steger and Ravi K. Roy, Neoliberalism. A Very Short Introduction
(New York: Oxford, 2010), hlm. 123. Baca juga Anthony Giddens, The Third Way. The Renewal of Social
Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999), hlm. 6. Baca juga,
Melkisedek Deni,“UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja”, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/10/09/uu-cipta-kerja-mencekik-rakyat-pekerja/, diakses pada 13 Oktober 2020.
[6] Anthony Giddens, The Third Way. The Renewal of Social Democray (USA: Blackwell
Publisher Ltd., 1999), hlm. 6.
[7] Dr. Alex Jebadu, Politik Ekonomi Pasar Bebas.
Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba (m.s). hlm. 209.
Lihat juga, Aleksander Jebadu, Drakula
Abad-21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme
Mutakhir Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2020).
[8] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press
Inc., 2005), hlm. 2. Menurut David Harvey, demi memperlancar agenda
neoliberalisme, kaum kapitalis mendesak negera berperan dalam membentuk
kerangka kelembagaan bagi sistem ekonomi neoliberal. Harvey menjelaskan, “the role of the state is to create and
preserve an institutional framework appropriate to such practices. The state
has to guarantee, for example, the quality and integrity of money. It must also
set up those military, defence, police, and legal structures and functions
required to secure private property rights and to guarantee, by force if need be,
the proper functioning of markets. Furthermore, if markets do not exist (in
areas such as land, water, education, health care, social security, or
environmental pollution) then they must be created, by state action if
necessary. But beyond these tasks the state should not venture. State
interventions in markets (once created) must be kept to a bare minimum because,
according to the theory, the state cannot possibly possess enough information
to second-guess market signals (prices) and because powerful interest groups
will inevitably distort and bias state interventions (particularly in
democracies) for their own benefit.”
[9] Anthony Giddens, op. cit., hlm. 18.
[10] Ibid.
[11] Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi
Mahesa, Menggugat Logika APBN. Politik
Anggaran Fraksi GERINDRA di Badan Anggaran DPR RI (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2012), hlm. 29-39. Di sini
Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi Mahesa mengutip Kwik Kian Gie dan John
Pilgler (The New Rulers of the Word) untuk menjelaskan bagaimana
segelintir kapitalis, raksasa koorporasi Barat dan Soeharto serta ekonom top
Indonesia mengadakan konferensi istimewa di Jenewa. Mereka merancang
pengambilalihan Indonesia. Konferens ini disponsori oleh The Time-Leife Corporation. Kebijakan yang diterapkan oleh Soeharto
masih terus diberlakukan sampai sekarang oleh penerusnya: Habibie, Abdurahman
Wahid, Megawati dan SBY. Baca juga Fajri Siregar “Apa Guna 'Orang Baik' dalam
Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020. Dalam artikel ini, Fajri Siregar
menjelaskan “di bawah kepemimpinan SBY
pun mendiang George Junus Aditjondro bercerita mengenai “Gurita Cikeas”yang
sejalan dengantesis oligarki. Karena memori kolektif kita lemah, ada baiknya
beberapa contoh untaian kepentingan segelintir orang di republik ini disebut
satu per satu: (1) Kasus lumpur Lapindo sejak 2006; (2)Pasal rokok yang hilang
(2009); (3) Persekongkolan tambang dan politik sejak 2010; (4) Reklamasi Teluk
Benoa sejak 2012; (5) Reklamasi Teluk Jakarta sejak 2012; (6) UU Pilkada
(2014); (7) Mafia Migas dan kegagalan pembangunan kilang minyak sejak 2014; (8)
Kasus Semen Rembang sejak 2017; (9); Keterpaksaan impor garam sejak 2017; (10)
Revisi UU KPK (2019); (11) UU Cipta Kerja sejak 2019; (12) UU Minerba (2020);
dan (13) Impor Ventilator (2020)”.
[12] Razali Ritonga,“Ancaman Kemunduran Pembangunan
Manusia”, dalam KOMPAS, edisi Rabu 14
Oktober 2020.
[13] Anthony Giddens, loc. cit. Baca juga tulisan Ulrich Beck, The Risk Society (London: Sage, 1992). Menurut Beck, masyarakat
sosial modern mau tidak mau harus mengalami banyak risiko. Risiko-risiko itu
diciptakan oleh teknologi dan obesitas produksi manusia. Misalnya, sebenarnya
kita tidak mengonsumsi kripik goreng rasa ubi yang diolah mesin produksi milik
kaum kapitalis neoliberal, karena kita sendiri bisa menggoreng ubi yang kita
tanam. Kita bisa saja menggoreng lebih banyak dan tingkat risikonya rendah.
Akan tetapi, karena didesak oleh tren kemajuan, kita beli kripik goreng rasa
ubi yang dijual di kios-kios. Dengan demikian kita akan menderita asam urat,
lambung naik dll. Paradigma pasar bebas
ini ditancapkan secara langsung ke relasi sosial. Paradigma sosial disulap
menjadi relasi persaingan pasar. Saya melihat Anda hanya sebagai barang/ alat
produksi. Saya tidak melihat Anda sebagai manusia. Dengan demikian, proses
pereduksian hakikat dan kualitas martabat manusia terjadi, karena manusia hanya
dilihat hanya sebagai alat produksi. Contoh lain: kasus perkosaan,
komersialisasi tubuh, prostitusi dll.
[14] Ibid.
[15] Bandingkan penjelasan Fajri Siregar “Apa Guna
'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV,
diakses pada 27 Oktober 2020.
[16] Bdk. Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi
Mahesa, op.cit., hlm. 35.
[17] Ibid.
[18] Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Standford: Standford University
Press, 1990), hlm. 151. Giddens menganalogikan dunia modern ini seperti truk
besar (Juggerment). Giddens
berpendapat bahwa tak seorang pun yang dapat menghindar dan melarikan diri dari
situasi dunia modern yang mengerikan ini.
[19] Anthony Giddens, Beyond Left and Right (Cambridge: Polity Press, 1994), hlm. 4.
[20] Slavoj Žižek, “Kita Semua Berada dalam Perahu
yang Sama Sekarang [Terjemahan atas Buku Slavoj Žižek “Pan(Dem)ic, Covid-19
Shakes The World”] (2)”, penerj. Silvano Keo Bhaghi, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/06/15/kita-semua-berada-dalam-perahu-yang-sama-sekarang-terjemahan-atas-buku-slavoj-zizek-pandemic-covid-19-shakes-the-world-2/, diakses pada 7 Oktober 2020.
[21] DW,“Paus Fransiskus: Kapitalisme Gagal
Melindungi Kemanusiaan Selama Pandemi Corona”, dalam DW. Com,https://www.dw.com/id/ensiklik-baru-paus-fransiskus-tentang-kegagalan-kapitalisme-dan-pandemi-corona/a-55157130,
diakses pada 7 Oktober 2020.
[22] Jeffrey A. Winters, Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2011), hlm. 267.
[23] Bunyi
pasal 33 UUD 1945, sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasa oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebebsar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Baca juga Drs. T.
Gilarso, Ekonomi Indonesia. Sebuah
Pengantar 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), hlm. 164-203.
*Artikel ini pernah terbit di Jurnal Vox Ledalero seri 66/01/2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Pandemi Covid-19, Agenda Neoliberalisme dan Revitalisasi Ekonomi Pancasila"