Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pandemi Covid-19, Agenda Neoliberalisme dan Revitalisasi Ekonomi Pancasila

Melki Deni

Pendahuluan

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul  Homo Deus, pernah memprediksi bahwa epidemic besar akan terus membahayakan manusia pada masa depan hanya jika umat manusia sendiri menciptakannya, demi kepentingan ideologi yang kejam.[1] Beberapa tahun kemudian prediksi Harari terbukti! Pada 17 November 2019, salah satu warga di Wuhan Provinsi Hubei Republik Rakyat Cina menderita penyakit pneumonia.

Pada awal ditemukan penyakit ini bernama 2019 novel coronavirus (2019-nCoV). Rabu 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi mengumumkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Pandemi Covid-19 membongkar misteri manusia. Kini manusia sedang dikendalikan oleh misteri pandemi Covid-19. Manusia begitu rapuh di hadapan pandemi Covid-19 ini. Kekuasaan Negara dan kekuatan algoritma teknologi pun ikut tunduk di hadapan pandemi ini.

Pandemi Covid-19 membuat para pemimpin Negara panik dan dilema. Presiden Amerika, Donald Trump menyebut Cina sebagai dalang pandemi Covid-19.[2] Donald Trump meminta pertanggungjawaban Cina yang telah melepaskan pandemi Covid-19 ke seluruh dunia. Pada 3 Agustus 2020, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mengatakan: “But don’t scream revolution right and left… try it… Let’s kill all those are infected by Covid.”[3]

Di tengah pandemi Covid-19 ini, tragadi kemanusiaan tampak akan masif.[4] WHO sendiri memprediksi pandemi berlangsung lama. Pandemi menyerang sistem ekonomi di Negara-negara Industri maju dan Negara-negara berkembang. Dunia akan menghadapi resesi ekonomi yang lebih buruk daripada depresi besar tahun 1930-an. Juni 2020, International Monetary Fund (IMF) memprediksi pandemi Covid-19 merusak ekonomi dunia lebih buruk dari angka prediksi yang dikeluarkan sebelumnya.

Indonesia sendiri berpotensi resesi jauh lebih berat ketimbang krisis moneter 1998, karena pandemi Covid-19. September 2020 lalu, Sri Mulyani mengatakan perkiraan perekonomian Indonesia sangat tergantung perkembangan pandemi Covid-19. Indonesia dipastikan masuk ke jurang resesi akibat pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 Vs Agenda Neoliberalisme Pasar

Para pemikir ekonomi modern berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi menentukan perkembangan kualitas peradaban manusia. Ekonomi yang stabil dan teknologi yang canggih mampu menunjang peningkatan taraf kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran manusia.

Tak ayal sekitar pada dekade kedua abad ke-20, kapitalisme disulap menjadi neoliberalisme. Tahun 1977 Asia diterkam oleh krisis ekonomi dan keuangan.[5] Negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggris sudah di tubir resesi ekonomi. Pada dekade yang sama, negara-negara berkembang di Amerika Latin dilanda krisis ekonomi dan pengisapan. Sejak pertengahan tahun 1970-an, sistem ekonomi neoliberal mendapat sambutan baik oleh munculnya Margaret Thatcher di panggung politik Inggris. Di Amerika Serikat agenda neoliberalisme ini dijemput baik oleh Ronal Reagan, dari Partai Republik. Agenda neoliberalisme ini sebetulnya dirancang, didikte dan ditunggangi oleh triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF, dan WTO) sejak 1997.

Thatcher dan Reagan mempropagandakan agenda ekonomi sistem neoliberalis. Kaum neoliberal menggalakkan privatisasi pasar, pajak harus diturunkan dan peranan Negara atas kekuasaan ekonomi dikendalikan. Pada saat itu, ekonomi Amerika Serikat dan Inggris bangkit lagi. “Neoliberalisme, kata Giddens, menimbulkan dampak yang lebih kecil di sebagian besar negara di Eropa Kontinental daripada di wailayah Kerajaan Inggris, Amerika Serikat, Australisa, dan Amerika Latin”.[6]

Sistem ekonomi neoliberal mempropagandakan imperatif-imperatif pasar bekisar pada empat kredonya: “pertumbuhan ekonomi yang stabil (sustained economic growth), pasar bebas (free markets), globalisasi ekonomi (economi globalization), dan privatisasi (privatization)”.[7] David Harvey mengatakan bahwa,

“neoliberalisme adalah lembaga pertama sebuah teori ekonomi politik yang mengusulkan bahwa cara terbaik untuk memperoleh kesejahteraan manusia ialah dengan membebaskan usaha-usaha bisnis dan keterempilan individu dalam susunan kelembagaan yang ditandai dengan strong private property rights (hak-hak milik pribadi yang kuat), free markets (pasar bebas), and free trade (perdagangan bebas)”.[8]  

Demi pertumbuhan ekonomi, kaum kapitalis mengabaikan dan menolak segala bentuk nilai-nilai tradisional, norma agama, etika keutamaan, struktur-struktur sosial, keutuhan ekologis, sistem ekonomi-politik dan agenda geopolitik suatu Negara. Neoliberalisme juga sangat mengecam isu mulitkulturalisme dan demokrasi. Giddens berpendapat bahwa “tak ada kekuatan yang lebih besar yang dapat membubarkan tradisi selain ‘revolusi permanen’ kekuatan pasar.[9] Mekanisme kompetitif pasar memperlemah otoritas tradisional dan memecah-belah komunitas-komunitas lokal.[10]

Di Indonesia, pasca-reformasi 1998 ada desakan liberalisasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Hal ini sebabkan oleh proses neokolonialisme Indonesia sejak November 1967. Tumbangnya Bung Karno, seolah-olah Indonesia melanggengkan penguasaan investor asing dan investor domestik untuk mengeksploitasi dan mengisap masyarakat Indonesia. Sejak Suharto kekayaan Indonesia dikuasai segelintir kelompok/ oligarki.[11]

Dalam usaha meningkatkan pembangunan manusia secara universal, Negara-negara di dunia ditantang oleh pandemi Covid-19. Stabilitas ekonomi nasional dapat dilihat dari peningkatan ekonomi sejalan dengan pembangunan manusia. Untuk konteks Indonesia, menurut Razali Ritonga, “kemunduran pembangunan manusia pernah terjadi pada tahun 1997”.[12] Ritonga menulis, “nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami penurunan dari 67,7 sebelum krisis pada tahun 1996 dan naik menjadi 64,3 sesudah krisis tahun 1999”. Pembangunan manusia dan peningkatan ekonomi saling berkontribusi secara progresif-produktif bagi kemajuan suatu Negara. Anggapan bahwa kebebasan pasar dapat mengamankan tatanan masyarakat global pasca-pandemi Covid-19, tidak menjamin sama sekali.

Pandemi Covid-19 dan Neoliberalisme Mengangkangi Kemanusiaan Kita

Giddens menulis “neoliberalisme menciptakan risiko-risiko dan ketidakpastian baru yang menurutnya (neoliberalisme) tak perlu diindahkan oleh para warga masyarakat”.[13] Selain itu, kata Giddens, “neoliberalisme mengabaikan basis sosial pasar itu sendiri, yang bergantung pada bentuk-bentuk komunal yang tak dipedulikan oleh fundamentalisme pasar”.[14] Demikian juga dengan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 menciptakan risiko-risiko besar dan merumuskan era ketidakpastian baru bagi masyarakat global. Risiko-risiko itu tidak hanya berdampak pada tatanan ekonomi, sosial, politik, agama, pendidikan dan kebudayaan, tetapi terutama bagi kemanusiaan kita. Sampai saat ini, sekitar jutaan orang meninggal karena pandemi Covid-19 ini. Pandemi beroperasi mengangkangi batas-batas kesanggupan manusia.

Seperti agenda neoliberalisme, pandemi Covid-19 seoloh-olah mendukung kebebasan pasar dan perdagangan bebas tanpa kendali. Sejak pandemi ini mencengkeram seluruh sistem politik ekonomi dan geopolitik seluruh Negara, dunia seakan-akan dibisukan. Jauh sebelum pandemi, kaum kapitalis neoliberal telah membentangkan jangkar pasar ke seluruh dunia. Alih-alih mewaspadai serangan pandemi Covid-19, masyarakat miskin di dunia justru diterkam oleh praktik ekonomi neoliberal secara kontinuitas, struktural, sistemik dan penuh rahasia.

Pandemi Covid-19 bisa menjadi peluang bagi segelintir orang super kaya di dunia. Mekanisme pasar bebas masih diberlakukan di tengah pandemi, meskipun secara terang-terangan melanggar sistem ekonomi yang dianut oleh suatu Negara. Misalnya di Indonesia, yang menganut sistem ekonomi Pancasila yang diatur berdasarkan Konsitusi yaitu pasal 33 UUD 1945 dan Pancasila. Untuk konteks Indonesia, sistem ekonomi neoliberal jelas menyesatkan dan menyengsarakan sebagian besar masyarakat miskin. Praktik neoliberal kapitalistik terbukti melalui pelbagi produk perundangan-undangan yang bersifat liberal.[15]

Tragisnya, privatisasi dilakukan dengan menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada pihak asing.[16] Liberalisasi dilakukan dengan menghilangkan proteksi dan subsidi.[17] Akibatnya, dengan fasilitas yang mudah, modal yang dasyat dan imperatif mekanisme pasar bebas, investor asing yang neoliberal masuk ke Indonesia. Giddens menggunakan kiasan Juggerment (truk besar) untuk menjelaskan situasi dunia modern ini.[18] Tidak ada satu pun manusia dapat mengontrol dan menghentikan serangan pandemi Covid-19 dan propaganda neoliberalisme ini. Masyarakat dunia sedang berada dalam kubangan panik, berpasrah entah kepada siapa dan mengharapkan pandemi ini segera berlalu.

Dunia sedang diterpa oleh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Giddens menyebut ketidakpastian dengan istilah manufactured uncertainty.[19] Situasi ketidakpastian ini tidak disebabkan oleh seleksi alam a la Darwinisme, tetapi oleh ulah manusia sendiri dengan algoritma teknologi yang diciptakannya. Teknologi canggih dan penelitian-penelitan bioteknologi dapat menimbulkan pelbagai krisis, seperti polusi udara, pemanasan global, desertifikasi, tipisnya lapisan ozon, dan pelbagai jenis penyakit (Covid-19).

Situasi ketidakpastian (manufactured uncertainty) ini serentak mengantar manusia kepada situasi konsekuensi risiko tinggi (high consequence risk). Di tengah tragedi kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini, mau tidak mau manusia harus mengambil dan mengalami banyak risiko, termasuk risiko akibat mekanisme pasar bebas tak terkendali. Apakah sistem ekonomi neoliberalisme benar-benar dapat mengatasi ketimpangan ekonomiketimpangan kemanusiaan kitadi tengah pandemi Covid-19 ini?

Saya sependapat dengan Slavoj Žižek bahwa “mekanisme pasar tidak akan cukup mencegah kekacauan dan kelaparan.”[20] Paus Fransiskus juga pernah mengatakan bahwa “kerapuhan sistem dunia dalam menghadapi pandemi telah menunjukkan bahwa tidak semuanya dapat diselesaikan dengan kebebasan pasar.”[21] Resesi ekonomi adalah juga resesi kemanusiaan kita. Tanpa pemenuhan stabilitas ekonomi, manusia hidup melampaui ambang batas kritis dan tidak dapat hidup. Oleh karena itu, Indonesia mesti merivitalisasi sistem Ekonomi Pancasila demi keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat.

Merevitalisasi Sistem Ekonomi Pancasila

Indonesia harus merevitalisasi sistem ekonomi Pancasila. Negara membantu dunia perusahaan produksi demi kepentingan seluruh rakyat. Negara wajib melindungi pihak yang lemah, kaum buruh dan keselamatan pasar tenaga kerja. Lebih dari itu Negara bertugas mengatur kebijakan ekonomi nasional sebagai keseluruhan. Di sini Negara membuat peraturan dan undang-undang yang mengatur agenda kebijakan ekonomi dan anggaran nasional demi kepentingan seluruh rakyat bukan kepentingan segelintir orang/ oligarki.[22]

Indonesia harus mewujudnyatakan sistem ekonomi nasional dengan cita-cita: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam wadah yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[23] Ekonomi Pancasila mampu menyumbat sistem ekonomi neoliberal yang dipropagandakan oleh triumvirat Washington (IMF, Bank Dunia dan WTO) itu. Ekonomi Pancasila harus mendiskreditkan sistem “free fight liberalisme” yang berdampak pada praktik eksploitasi terhadap sumber-sumber dasar produksi ekonomi dan pelaku ekonomi, yakni rakyat Indonesia. Ekonomi Pancasila harus meminimalisasikan sistem etatisme dalam Negara dan aparatur ekonomi negara yang bersifat dominan, mendesak dan menjenazahkan potensi kreatifitas ekonomi swasta. Ekonomi Pancasila diusahakan sebagai usaha bersama untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

Tidak ada seorang pun masyarakat miskin dapat mengontrol propaganda sistem ekonomi neoliberal yang dikonsolidasikan oleh segelintir orang super kaya di dunia. Demikain juga, tak ada satu pun yang dapat mengendalikan dan memusnahkan pandemi Covid-19 ini. Neoliberalisme dan pandemi Covid-19 adalah dua kekuatan yang mahadasyat saat ini. Keduanya mengejar objek yang sama, yaitu manusia. Siapa yang kuat, ia selamat. Akan tetapi, siapa yang lemah, pasti tamat!

Menurut saya, sistem ekonomi Pancasila ini sejalan dengan semangat kekeluargaan, gotong-royong (solidaritas) dan kerja sama di Indonesia. Ekonomi Pancasila mesti menjadi landasan dalam setiap agenda pembangunan ekonomi dan penyususun anggaran nasional. Tugas Negara harus mengendalikan kekuasaan dan kekuatan kaum kapitalis neoliberal di tengah ancaman resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Akan tetapi Negara tidak boleh mengendalikan secara total sampai menghimpit daya tarik investor asing dan investor domestik. Kerja sama ekonomi transnasional mutlak dibutuhkan demi meningkatkan kualitas perekonomian nasional, namun Negara tetap memerhatikan modus-risiko yang akan timbul.

Ekonomi Pancasila merevitalisasi kesadaran kita akan kekeluargaan, persoalan keagaman (solidaritas), etika, moral, kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kewarganegaraan kita. Masalah-masalah struktural dan sistemik seperti ketimpangan ekonomi, pengisapan, pencaplokan dan eksploitasi terhadap subjek dan tujuan ekonomi (rakyat sendirikemanusiaan) dapat diatasi dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Dengan demikian kemanusiaan kitalah yang akan mengangkangi pandemi Covid-19 dan agenda neoliberalisme.

 

Daftar Pusataka

Buku:

Beck, Ulrich. The Risk Society (London: Sage, 1992).

Francis, Fary Djemy dan Desmond Junaidi Mahesa. Menggugat Logika APBN. Politik Anggaran Fraksi GERINDRA di Badan Anggaran DPR RI (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012).

Giddens, Anthony. Beyond Left and Right (Cambridge: Polity Press, 1994).

-----------------------. The Consequences of Modernity (Standford: Standford University Press, 1990).

-----------------------. The Third Way. The Renewal of Social Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999).

Gilarso, T. Ekonomi Indonesia. Sebuah Pengantar 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986).

Harari, Yuval Noah. Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Cet. 3, 2018).

Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press Inc., 2005).

Jebadu, Aleksander. Drakula Abad-21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020).

Schenker, Jason. Masa Depan Dunia Setelah Covid-19. Perubahan, Tantangan, dan Peluang sebagai Sektor Kehidupan Pasca-pandemi, penerj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2020).

Steger, Manfred B. and Ravi K. Roy. Neoliberalism. A Very Short Introduction (New York: Oxford, 2010).

Winters, Jeffrey A. Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).

Manuskrip dan Koran:

Jebadu, Alex. Politik Ekonomi Pasar Bebas. Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba (m.s).

Ritonga, Razali. “Ancaman Kemunduran Pembangunan Manusia”, dalam KOMPAS, edisi Rabu 14 Oktober 2020.

Internet:

Castaneda, Jason. “Duterte Blasts Doctors As COVID Crisis Spirals”, dalam ASIATIMES.Com, https://asiatimes.com/2020/08/duterte-blasts-doctors-as-covid-crisis-spirals/, diakses pada 6 Oktober 2020.

Deni, Melkisedek. “UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja”, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/10/09/uu-cipta-kerja-mencekik-rakyat-pekerja/, diakses pada 13 Oktober 2020.

DW, “Paus Fransiskus: Kapitalisme Gagal Melindungi Kemanusiaan Selama Pandemi Corona”, dalam DW. Com,https://www.dw.com/id/ensiklik-baru-paus-fransiskus-tentang-kegagalan-kapitalisme-dan-pandemi-corona/a-55157130, diakses pada 7 Oktober 2020.

Nichols, Michelle dan Steve Holland. “ U.S.-China Tensions Take Center Stage At U.N. as Trump Accuses Beijing of Unleashing 'Plague'”, dalam Reuters, https://www.reuters.com/article/us-un-assembly/u-s-china-tensions-take-center-stage-at-u-n-as-trump-accuses-beijing-of-unleashing-plague-idUSKCN26D2FN?il=0, diakses pada 6 Oktober 2020.

Putri, Gloria Setyvani. "WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi Global", dalam KOMPAS. COM, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada Senin, 5 Oktober 2020.

Siregar, Fajri. “Apa Guna 'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV,  diakses pada 27 Oktober 2020.

Žižek, Slavoj. “Kita Semua Berada dalam Perahu yang Sama Sekarang [Terjemahan atas Buku Slavoj Žižek “Pan(Dem)ic, Covid-19 Shakes The World”] (2)”, penerj. Silvano Keo Bhaghi, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/06/15/kita-semua-berada-dalam-perahu-yang-sama-sekarang-terjemahan-atas-buku-slavoj-zizek-pandemic-covid-19-shakes-the-world-2/, diakses pada 7 Oktober 2020.

 



[1] Yuval Noah Harari, Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Cet. 3, 2018), hlm. 15.

[2] Michelle Nichols dan Steve Holland,“ U.S.-China Tensions Take Center Stage At U.N. as Trump Accuses Beijing of Unleashing 'Plague'”, dalam Reuters, https://www.reuters.com/article/us-un-assembly/u-s-china-tensions-take-center-stage-at-u-n-as-trump-accuses-beijing-of-unleashing-plague-idUSKCN26D2FN?il=0, diakses pada 6 Oktober 2020.

[3] Jason Castaneda,“Duterte Blasts Doctors As COVID Crisis Spirals”, dalam ASIATIMES.Com, https://asiatimes.com/2020/08/duterte-blasts-doctors-as-covid-crisis-spirals/, diakses pada 6 Oktober 2020.

[4] Jason Schenker, Masa Depan Dunia Setelah Covid-19. Perubahan, Tantangan, dan Peluang sebagai Sektor Kehidupan Pasca-pandemi, penerj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2020), hlm. 171.

[5] Manfred B. Steger and Ravi K. Roy, Neoliberalism. A Very Short Introduction (New York: Oxford, 2010), hlm. 123. Baca juga Anthony Giddens, The Third Way. The Renewal of Social Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999), hlm. 6. Baca juga, Melkisedek Deni,“UU Cipta Kerja Mencekik Rakyat Pekerja”, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/10/09/uu-cipta-kerja-mencekik-rakyat-pekerja/, diakses pada 13 Oktober 2020.

 

[6] Anthony Giddens, The Third Way. The Renewal of Social Democray (USA: Blackwell Publisher Ltd., 1999), hlm. 6.

[7] Dr. Alex Jebadu, Politik Ekonomi Pasar Bebas. Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba (m.s). hlm. 209. Lihat juga, Aleksander Jebadu, Drakula Abad-21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020).

[8] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press Inc., 2005), hlm. 2. Menurut David Harvey, demi memperlancar agenda neoliberalisme, kaum kapitalis mendesak negera berperan dalam membentuk kerangka kelembagaan bagi sistem ekonomi neoliberal. Harvey menjelaskan, “the role of the state is to create and preserve an institutional framework appropriate to such practices. The state has to guarantee, for example, the quality and integrity of money. It must also set up those military, defence, police, and legal structures and functions required to secure private property rights and to guarantee, by force if need be, the proper functioning of markets. Furthermore, if markets do not exist (in areas such as land, water, education, health care, social security, or environmental pollution) then they must be created, by state action if necessary. But beyond these tasks the state should not venture. State interventions in markets (once created) must be kept to a bare minimum because, according to the theory, the state cannot possibly possess enough information to second-guess market signals (prices) and because powerful interest groups will inevitably distort and bias state interventions (particularly in democracies) for their own benefit.”

[9] Anthony Giddens, op. cit., hlm. 18.

[10] Ibid.

[11] Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi Mahesa, Menggugat Logika APBN. Politik Anggaran Fraksi GERINDRA di Badan Anggaran DPR RI (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 29-39.  Di sini Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi Mahesa mengutip Kwik Kian Gie dan John Pilgler (The New Rulers of  the Word) untuk menjelaskan bagaimana segelintir kapitalis, raksasa koorporasi Barat dan Soeharto serta ekonom top Indonesia mengadakan konferensi istimewa di Jenewa. Mereka merancang pengambilalihan Indonesia. Konferens ini disponsori oleh The Time-Leife Corporation. Kebijakan yang diterapkan oleh Soeharto masih terus diberlakukan sampai sekarang oleh penerusnya: Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati dan SBY. Baca juga Fajri Siregar “Apa Guna 'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020. Dalam artikel ini, Fajri Siregar menjelaskan “di bawah kepemimpinan SBY pun mendiang George Junus Aditjondro bercerita mengenai “Gurita Cikeas”yang sejalan dengantesis oligarki. Karena memori kolektif kita lemah, ada baiknya beberapa contoh untaian kepentingan segelintir orang di republik ini disebut satu per satu: (1) Kasus lumpur Lapindo sejak 2006; (2)Pasal rokok yang hilang (2009); (3) Persekongkolan tambang dan politik sejak 2010; (4) Reklamasi Teluk Benoa sejak 2012; (5) Reklamasi Teluk Jakarta sejak 2012; (6) UU Pilkada (2014); (7) Mafia Migas dan kegagalan pembangunan kilang minyak sejak 2014; (8) Kasus Semen Rembang sejak 2017; (9); Keterpaksaan impor garam sejak 2017; (10) Revisi UU KPK (2019); (11) UU Cipta Kerja sejak 2019; (12) UU Minerba (2020); dan (13) Impor Ventilator (2020)”.

[12] Razali Ritonga,“Ancaman Kemunduran Pembangunan Manusia”, dalam KOMPAS, edisi Rabu 14 Oktober 2020.

[13] Anthony Giddens, loc. cit. Baca juga tulisan Ulrich Beck, The Risk Society (London: Sage, 1992). Menurut Beck, masyarakat sosial modern mau tidak mau harus mengalami banyak risiko. Risiko-risiko itu diciptakan oleh teknologi dan obesitas produksi manusia. Misalnya, sebenarnya kita tidak mengonsumsi kripik goreng rasa ubi yang diolah mesin produksi milik kaum kapitalis neoliberal, karena kita sendiri bisa menggoreng ubi yang kita tanam. Kita bisa saja menggoreng lebih banyak dan tingkat risikonya rendah. Akan tetapi, karena didesak oleh tren kemajuan, kita beli kripik goreng rasa ubi yang dijual di kios-kios. Dengan demikian kita akan menderita asam urat, lambung naik dll.  Paradigma pasar bebas ini ditancapkan secara langsung ke relasi sosial. Paradigma sosial disulap menjadi relasi persaingan pasar. Saya melihat Anda hanya sebagai barang/ alat produksi. Saya tidak melihat Anda sebagai manusia. Dengan demikian, proses pereduksian hakikat dan kualitas martabat manusia terjadi, karena manusia hanya dilihat hanya sebagai alat produksi. Contoh lain: kasus perkosaan, komersialisasi tubuh, prostitusi dll.

[14] Ibid.

[15] Bandingkan penjelasan Fajri Siregar “Apa Guna 'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020.

[16] Bdk. Fary Djemy Francis dan Desmond Junaidi Mahesa, op.cit., hlm. 35.

[17] Ibid.

[18] Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Standford: Standford University Press, 1990), hlm. 151. Giddens menganalogikan dunia modern ini seperti truk besar (Juggerment). Giddens berpendapat bahwa tak seorang pun yang dapat menghindar dan melarikan diri dari situasi dunia modern yang mengerikan ini.

[19] Anthony Giddens, Beyond Left and Right (Cambridge: Polity Press, 1994), hlm. 4.

[20] Slavoj Žižek, “Kita Semua Berada dalam Perahu yang Sama Sekarang [Terjemahan atas Buku Slavoj Žižek “Pan(Dem)ic, Covid-19 Shakes The World”] (2)”, penerj. Silvano Keo Bhaghi, dalam NTTProgresif, https://nttprogresif.com/2020/06/15/kita-semua-berada-dalam-perahu-yang-sama-sekarang-terjemahan-atas-buku-slavoj-zizek-pandemic-covid-19-shakes-the-world-2/, diakses pada 7 Oktober 2020.

[21] DW,“Paus Fransiskus: Kapitalisme Gagal Melindungi Kemanusiaan Selama Pandemi Corona”, dalam DW. Com,https://www.dw.com/id/ensiklik-baru-paus-fransiskus-tentang-kegagalan-kapitalisme-dan-pandemi-corona/a-55157130, diakses pada 7 Oktober 2020.

[22] Jeffrey A. Winters, Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 267.

[23] Bunyi pasal 33 UUD 1945, sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasa oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebebsar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Baca juga Drs. T. Gilarso, Ekonomi Indonesia. Sebuah Pengantar 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), hlm. 164-203.


*Artikel ini pernah terbit di Jurnal Vox Ledalero seri 66/01/2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.

Post a Comment for "Pandemi Covid-19, Agenda Neoliberalisme dan Revitalisasi Ekonomi Pancasila"