Sumpah Pemuda, Mahasiswa dan Wabah Kemalasan Berpikir
|
Setiap
tanggal 28 Oktober, Indonesia memperingati Sumpah Pemuda. Dalam rangka
memperingati dan memaknai Hari Sumpah Pemuda 2020, Kementerian Pemuda dan
Olahraga menggelorakan semangat "Bersatu dan Bangkit". Semangat “Bersatu dan Bangkit” ini menstimulasi
seluruh masyarakat Indonesia untuk melawan wabah kemalasan berpikir!
Apa Kabar Indonesia?
Saat
ini masyarakat Indonesia tidak hanya mewaspadai serangan pandemi Covid-19,
tetapi juga wabah kemalasan berpikir. Sejak lama, semangat “Bersatu dan Bangkit” dalam dunia pendidikan belum
menggema dan masih kurang signifikan.
Dalam
konteks pendidikan, Indonesia belum bisa menurunkan angka buta huruf di
kalangan masyarakat. Kultur membaca masih sangat memprihatinkan, namun
penggunaan internet sangat kebablasan. Di bawah ini saya utarakan beberapa
fakta minimnya budaya membaca di Indonesia.[1]
Peratama,
United Nations Educatinal, Scientific and
Cultur Organization (UNESCO) pernah menyebutkan Indonesia urutan kedua dari
bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia
hanya 0,001%.
Kedua,
pada Maret 2016 lalu, Central Connecticut
State Univesity melakukan World’s
Most Literate Nations Ranked. Waktu itu, Indonesia dinyatakan menduduki
peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah
Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Menurut
pengamat pendidikan dari Dompet Dhuafa, Aza El Munadiyan, penduduk Indonesia
lebih gila internet daripada masyarakat di Negara-negara industri maju, seperti
seperti Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, Australia bahkan Amerika dan China.[2]
Dalam sehari, penduduk Indonesia dapat menghabiskan waktu hampir 8 jam untuk
mengakses internet. Masyarakat Indonesia yang teknofobia disulap menjadi
teknomaniak!
Berdasarkan
laporan dari We Are Social, pada
tahun 2020 disebutkan ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dari 272,1
juta jiwa penduduk Indonesia, 64% telah merasakan akses ke dunia internet.[3]Artinya
masyarakat Indonesia jauh lebih konsumtif daripada masyarakat di Negara-negara
industri maju.
Di
Indonesia masih dipraktikkan sentralisasi pendidikan; dikotomi kebudayaan
sentral dan kebudayaan pinggiran; kurikulum pendidikan yang dilaterbelakangi
oleh kebudayaan masyarakat tertentu; distribusi fasilitas pendidikan tidak
merata dan pembangunan infrastruktur tidak adil. Itulah kabar Indonesia hari
ini!
Indonesia: Sumpah
Pemuda!
Setiap
tahun, Indonesia memperingati dan mengikrarkan Sumpah Pemuda. Artinya tiap
tahun Indonesia bersumpah demi tanah air, bangsa dan bahasa. Pada 27 dan 28
Oktober 1928, Kongres Pemuda II dilangsungkan di Batavia. Hari pertama, kongres
menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik. Hari
kedua Kongres diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka
Utara, Jakarta Pusat).
Tujuan
Kongres Pemuda II ialah: (1) Melahirkan cita-cita semua perkumpulan pemuda
pemuda Indonesia; (2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda
Indonesia; dan (3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan
Indonesia. Kongres Pemuda II ini bersepakat merumuskan tiga Sumpah Pemuda:
Pertama:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami putra dan putri Indonesia,
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Para
pemuda Indonesia sungguh-sungguh memahami bahwa tanah air yang tidak
diperjuangkan dan disumpahkan, akan menjadi tanah kering, yang akan
menghidupkan kaktus—masyarakat yang kerdil dan
sistem Pemerintahan yang berduri—di Indonesia. Dengan demikian para
investor dan elite mudah mengkonsolidasi kekuasaan ekonomi dan menggalakkan
sistem ekonomi pasar bebas.
Para
pemuda Indonesia sungguh-sungguh menyadari bahwa tanpa pengakuan akan
multikulturalisme dan pluralisme, Indonesia akan menjadi bangsa hegemoni
otoritarian obsolut. Bangsa Indonesia dipimpin, diatur dan dikendalikan oleh
monster; entah elite pragmatis, oligark-kapitalis, dinasti absolut, atau
manusia setengah dewa.
Para
pemuda Indonesia sungguh-sungguh menjunjung tinggi Bahasa Indonesa. Tanpa
Bahasa Persatuan, Indonesia tidak kenal diri, tidak memiliki identitas yang
jelas, tidak merdeka, tidak bebas, tidak dewasa dan tidak tahu diri. Tanpa
Bahasa Indonesia, masyarakat Indonesia tidak mungkin dapat bersatu dan
berkomitmen bersama demi bangsa dan tanah air.
Tanpa
Bahasa Persatuan, Indonesia tidak dapat merancang dan merumuskan kehendak
bersama, membangkitkan kesadaran kebersamaan sejarah, dan tujuan universal
bangsa. Tanpa Bahasa Persatuan, Indonesia tidak bisa bangkit dari pembisuan,
alienasi, penindasan dan propaganda imperialisme-kolonialisme penjajah. Jadi,
Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam
mengawali kesadaran kebangsaan dan wawasan Nusantara.
Sumpah
Pemuda seharusnya menjiwai segenap perjuangan dan hidup pemuda Indonesia.
Pemuda Indonesia harus berani membuktikan Sumpah Pemuda itu ke dalam tindakan
nyata. Akan tetapi, kini pemuda Indonesia sedang tidur berkepanjangan.
Demonstrasi brutal, protes sosial secara anarkis, bunuh diri, aborsi, narkoba,
komersialisasi tubuh, prostitusi, tawuran antara kampus dan kejahatan-kejahatan
lain yang dilakukan kaum muda menggambarkan minim kultur membaca dan kemalasan
berpikir.
Bangkitlah dari
Kemalasan Berpikir!
Radikalisme
agama, sentimen primordial kebudayaan, terorisme, jual-beli manusia, politisasi
agama, eksploitasi tubuh, agamaisasi politik, komersialisasi tubuh, pembunuhan,
peperangan, persaingan pasar bebas dan penyebarluasan ideologi-ideologi radikal
merupakan akibat langsung dari kemalasan berpikir.
Tak
bisa disangkal bahwa akal budi mahasiswa seakan-akan dikendalikan rasionalitas teknologi.[4]
Alih-alih membantu dan menyelamatkan manusia, teknologi justru menindas dan
mengendalikan manusia.[5]Mula-mula
mahasiswa sebagai pengontrol, tapi pada akhirnya ia yang dikontrol oleh
imperatif-imperatif tekonologis dengan logika algoritmanya.
Logika
algoritma teknologi seakan-seakan menciptakan ketidakpuasan dalam diri manusia.
Bagaimana mungkin saya dikalahkan oleh teknologi ini? Dengan demikian saya
membiarkan diri dikendalikan dan ditindas oleh teknologi. Kemudian lahirlah
mental instan, temperamen, individualisme, egoisme dan sikap-sikap anti-sosial.
Anti-sosial berarti anti-pembebasan. Anti-pembebasan berarti anti-sejarah;
anti-kehidupan!
Mahasiswa
tidak lagi menciptakan kultur membaca dan menulis, malah memupuk mental
“salin-tempel”. Skandal intelektual, jiplak dan kasus plagiarisme merajalela di
mana-mana. Dalam membangun relasi sosial, mahasiswa lebih didominasi oleh
prasangka-prasangka dan ideologi-ideologi diskriminatif. Indonesia kemudian
jadi sasaran empuk untuk informasi provokasi, hoaks. fake news dan fitnah.
Sampa
hari ini, manusia dikalkulasi dan digunakan sebagai alat pelampiasan libido
seksual dan kekuasaan ekonomi-politis di mana-mana. Manusia ditukarkan dengan
selembar uang. Manusia menggundulkan ibu bumi tanpa kendali. Memang aneh, tapi
itulah sedang terjadi dewasa ini. Dengan demikian mahasiswa melanggengkan
kejahatan-kejahatan: penindasan, alienasi, peminggiran, anomi, pengisapan,
komersialisasi tubuh, dan transaksi tubuh manusia, apabila ia tidak membuka diri
dan melakukan gerakan-gerakan progresif-produktif.
Mahasiswa
harus menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda. Sebagai mahasiswa, kita
harus penggerak dan corong pembebasan rakyat. Roh kebernalaran senantiasa
menuntut kita membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu alienasi, pencaplokan,
pembisuan kesadaran dan penindasan dari kaum kleptokrat, sistem politik ekonomi
korporatokrasi, dan cengkeraman oligarki.
Dengan
membangun kultur membaca, membuat kajian kritis dan menulis, mahasiswa dapat
menjadi agen perubahan ke arah kemajuan. Mahasiswa harus melawan dan bangkit
dari kemalasan berpikir. Masa depan Indonesia berada di otak mahasiswa!
[1] Bdk. Evita Devega, “Teknologi Masyarakat
Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos”, dalam Kominfo.Go.Id https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media, diakses pada 11 Oktober 2020.
[2] Bdk. Agung Sasongko “Anak-Anak Indonesia Minim
Akses dan Minat Membaca Buku”, dalam Republika.
Co.Id https://republika.co.id/berita/q9qc81313/anakanak-indonesia-minim-akses-dan-minat-membaca-buku, diakses pada 10 Oktober 2020.
[3] Ibid.,
[4] Bdk. Max Horkheimer, Critique of Instrumental Reason. Lecturers an Essays since the End of
World War II, Penerj. Matthew J. O’Conel cs., (New York: The Seabury Press,
1974).
[5] F. Budi
Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990)
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 12 November 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Sumpah Pemuda, Mahasiswa dan Wabah Kemalasan Berpikir"