Pandemi Covid-19, Kewarganegaraan dan Demokrasi Pancasila
Melki Deni |
Abstrak: Tiap
hari penambahan kasus baru pandemik Covid-19 kian meningkat. Para
saintis-biologis, pakar virologi, epidemologi, bioteknologi dan matematika
mengaku kalah. Pelbagai usaha yang dilakukan masyarakat global agar proses
penyebaran pandemi ini segera berakhir, malah semakin proaktif meneror dan
membantai tidak sedikit manusia tiap hari. Inilah krisis kemanusiaan global
pada awal abad ke-21. Di tengah krisis kemanusiaan ini, masyarakat global tak
terkecuali Indonesia lebih sibuk mengurus ekonomi dan ketahanan hidup daripada
memperhatikan agenda ekonomi-politik negara. Setiap agenda politik ekonomi
mesti dikaji berkali-kali, sebab Negara harus menangani serangan pandemi
Covid-19 ini, terutama mewaspadai hilangnya kesadaran akan kewarganegaraan dari
warga negara. Tulisan ini hendak memberikan pandangan bagaimana warga negara
tetap mengakui identitas kewargaannya di tengah pandemi Covid-19 ini melalui
Demokrasi Pancasila.
Kata
Kunci: Pandemi Covid-19, Warga Negara, Kewarganegaraan, Pasar,
Oligarki, dan Demokrasi Pancasila.
PENDAHULUAN
Yuval Noah Harari dalam bukunya yang
berjudul Homo Deus, pernah memprediksi bahwa
epidemi besar akan terus membahayakan manusia pada masa depan hanya jika umat
manusia sendiri menciptakannya, demi kepentingan ideologi yang kejam.[1]
Selang beberapa tahun kemudian prediksi Harari terbukti! Pada 17 November 2019,
salah satu warga di Wuhan Provinsi Hubei Republik Rakyat Cina menderita
penyakit pneumonia.
Pada awal ditemukan penyakit ini
bernama 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV). Rabu 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi
mengumumkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global.[2] World Health Organization (WHO)
mengumumkan nama baru 2019 novel
Coronavirus (2019-nCoV) dengan Coronavirus
Disease (Covid-19). Menurut WHO, Covid-19 ini disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).
Promkes Kementerian Kesehatan RI dan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menjelaskan bahwa Covid-19 dapat menyebabkan
penyakit dan kematian pada manusia, karena ia menyerang saluran pernapasan,
yaitu flu hingga penyakit serius seperti Middle
East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS).[3]
Di tengah pandemi Covid-19 ini,
warga negara lebih sibuk mengurus agenda ekonomi keluaga demi ketahanan hidup
daripada agenda ekonomi politik Negara yang cenderung membengkakkan kekayaan
segelintir elite pragmatis dan oligark-kapitalis. Warga negara cenderung
mengabaikan diskusi seputar agenda ekonomi politik Negara, patriotisme
konstitusional, partisipasi demokratisasi, semangat nasionalisme dan moralitas
agama. Krisis partisipasi demokratis dari warga negara sangat memengaruhi
legitimasi dan kualitas demokrasi Pancasila.
CITA
RASA KEWARGANEGARAAN
Di tengah pandemi Covid-19 ini,
warga negara memiliki pemahaman yang baru akan kewarganegaraan. Pemahaman baru
ini memengaruhi cita rasa kewargaan dan penghayatan kewarganegaraan dalam
praksis kehidupan. Pandemi Covid-19 menerobos di berbagai lini sendi kehidupan.
Akan tetapi hendaknya cita rasa kewargaan dan kewarganegaraan tidak pasang
surut. Sebelum lanjut, sebaiknya kita memberi batas pemahaman tentang warga
negara dan kewarganegaraan. Dengan demikian kajian ini memiliki acuan dan
sasaran analisis yang tepat guna dan aktual.
Menurut B. P. Paulus, warga negara
adalah salah satu tiang daripada adanya negara, di samping kedua tiang yang
lain, yaitu wilayah dan pemerintah negara.[4] Paulus
menyatakan bahwa warga negara merupakan tiang atau soko guru negara, maka
kedudukan warga negara sangat penting dalam suatu negara. Tidak bisa
dibayangkan suatu negara tanpa ada warga atau anggotanya.
Dalam pasal 27 ayat 1 dan ayat 2 UUD
1945 dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”[5] Relasi
kesatuan ikatan antara warga dan negara disebut kewarganegaraan.
Menurut Paulus, kewarganegaraan adalah ikatan antara individu dengan
negara, yaitu individu merupakan anggota penuh secara politik dalam negara itu,
dan berkewajiban untuk tetap setia kepada negara.[6] Sebaliknya
negara berkewajiban melindungi warga negara tersebut di mana pun ia berada.
Cita rasa kewargaan justru dinyatakan dalam bentuk perlindungan negara terhadap
warganya di mana pun ia berada. Sebaliknya negara dapat melindungi warganya,
jika warga patuh terhadap sistematika hukum dan norma negara. Dengan demikian
kewarganegaraan adalah kesatuan ikatan antara warga negara dengan warga negara,
warga negara dengan negara bersifat pertalian yuridis konstitusional dan
sosiologis-kekluargaan.[7]
PASAR
BEBAS MENCENGKERAM DEMOKRASI PANCASILA
Saat ini Negara-negara menganut sistem pemerintahan demokrasi, terutama
setelah berakhir perang dingin pada 1990.[8] Demokrasi
dipandang sebagai sistem yang ideal; sistem yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi juga menganut prinsip prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara: eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Demokrasi
adalah sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
warga negara atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila. Secara sederhana sistem
demokrasi Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Demokrasi Pancasila
didasarkan pada semangat kebersamaan atau kolektivisme yang hidup dalamm hati
sanubari setiap warga negara asli, di mana kehidupan seseorang dianggap sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat secara keseluruhan.[9]
Selain itu, (2) dalam demokrasi Pancasila, sistem pemerintahan dilakukan
oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat. (3) Dalam demokrasi
Pancasila, kebebasan individu tidak bersifat mutlak, akan tetapi harus
diselaraskan dengan tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan yuridis
konstitusional negara. (4) Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita
demokrasi disatukan dengan kehendak universal bangsa Indonesia yang dijiwai
oleh semangat kekeluargaan dan kebersamaan sejarah nasional.
Akan tetapi sistem demokrasi Pancasila seringkali dikomersialisasi dan
diperalat demi kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan universal
bangsa Indonesia. Pemilihan umum langsung oleh rakyat seringkali mencederai
substansi demokrasi Pancasila. Hal ini tampak dalam bentuk politik uang,
politik identitas, politisasi birokrasi, dan klientalisme dalam pemilihan umum.
Dalam demokrasi ekonomi dapat dilihat dari persaingan pasar bebas tanpa kendali
dan propaganda neokapitalistik ini justru berpenetrasi dalam kebijakan politik
negara.
Sebagian warga negara mengartikan demokrasi hanya sebatas bebas
mengekspresikan diri dan mengungkapkan pikiran sebebas-bebasnya. Alih-alih
mengatasnamakan suara rakyat, demokrasi Pancasila membutuhkan biaya bagi
pengimplementasiannya. Bukannya menyejahterahkan seluruh rakyat Indonesia,
malah membengkakkan kekayaan para cukong dan oligarki-kapitalis.
MERANGSANG KEMBALI DEMOKRASI
PANCASILA
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan serapan dari nilai-nilai
budaya dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila mengakomodasi seluruh
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Warga negara dan pemerintah memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Warga
negara wajib mendapatkan sistem
pemerintahan dan pemerataan layanan kesehatan dari Negara. Warga negara
juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kewajiban memelihara
kesehatan dan keutuhan ekologis.
Negara memiliki hak untuk merumuskan,
menetapkan dan melaksanakan kebijakan
nasional dalam menghadapi pandemi Covid-19. Selain itu,
negara berkewajiban untuk memperhatikan kesehatan warga negara dan
mengkontribusi bantuan sosial secara adil dan holistik.
Akan tetapi ada kecurigaan tersendiri di tengah pandemi seperti ini.
Ketika kaum kapitalis, elite pragmatis dan birokrasi negara menyaksikan pandemi
Covid-19 telah menyebabkan krisis ekonomi secara global, dan berdampak pada
krisis kemanusiaan, mereka membentangkan jangkar pasar, bursa saham dan slogan
diskon di emerging market. Pandemi
Covid-19 malah jadi peluang bisnis.
Selanjutnya paradigma pasar berpenetrasi ke dalam kebijakan politik.
Setiap agenda politik mesti diselaraskan dan dikendalikan dengan imperatif
pasar. Dengan demikian segala produk perundang-undangan lebih memihak kaum
kapitalis daripada kepentingan rakyat. Penetrasi paradigma pasar ke dalam ranah
politik dapat mengaburkan batas-batas antara kepentingan pasar dan keutamaan
Negara, yakni kepentingan rakyat. Paradigma pasar disokong kaum kapitalis
neoliberal dan menyokong oligarki bisnis-politis.
Inilah realitas wajah politik Indonesia saat ini. Segelintir orang super
kaya (oligarki) yang memiliki pengaruh tertentu dengan modal kapital yang besar
menguasai kebijakan publik Negara dan mengendalikan media massa. Kelompok
oligark-kapitalis menyokong paradigma pasar ke dalam agenda politik Negara guna
memperluas wilayah kekuasaan produksi.
Monopoli pasar bebas dengan kredo minimal
state selalu berdampak pada persaingan ekonomi lolos dari kontrol
demokrasi. Hal ini tampak dalam kebijakan perusahaan yang tidak melibatkan negara
dan kontrol kelas pekerja/ buruh. Intervensi oligark bisnis-politik ke dalam
kebijakan politik mencederai sistem poliltik negara demi meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Hal ini tentu saja dapat memperlebar kensenjangan ekonomi
dalam masyarakat.
Di tengah pandemi ini kelompok oligarki-kapitalis bertumbuh subur.
Oligarki-kapitalis itu tidak bernama, transnasional dan homogen, namun punya kekuatan yang
mahabesar. Pasar tahu kebutuhan dan target masyarakat konsumen. Oleh karena itu
pasar hadir dan berkuasa tak terkendali di mana-mana.[10] Pandemi
dan pasar (kaum kapitalis) sama-sama merebut manusia dengan tidak
memperhitungkan kemanusiaannya, kecuali demi logika pasar, yakni peningatan
pendapatan per kapita, perluasan wilayah produksi dan penguasaan barang/jasa.
Di tengah pandemi ini, proses demokratisasi (demokrasi ekonomi) bisa
gagal menyumbat gerakan kaum oligark-kapitalis. Jeffery A. Wintters menyatakan bahwa lembaga-lembaga
demokrasi malah memberdayakan, dan bukan mengekang para oligark Indonesia sejak
1998.[11]
Lembaga-lembaga ini telah menyediakan arena untuk maraknya kerja sama dan
persaingan antar-oligark.[12]
Hanya mengerti Bahasa kepentingan diri, tulis Hardiman, pasar telah
mengubah banyak sektor, seperti praktik parlementarisme, media, pendidikan,
pelayanan publik.[13]
Hardiman menyatakan demokrasi elektoral tampak sebagai pasar suara, tempat
partai-partai dan para kandidat membeli suara dari pemilih untuk formasi
kerajaan oligarkis mereka.[14]
Selanjutnya mereka akan menjarah negara dengan kekuasaan legitim yang berhasil
mereka beli.
PENUTUP
Di tengah pandemi ini, ketika warga
negara mengabaikan agenda ekonomi politik, partisipasi demokratisasi, dan
isu-isu kewarganegaraan lainnya, maka sesungguhnya ia sedang melepaskan diri
dari ikatan yuridis dan historitas-sosiologisnya. Warga negara itu akan
kehilangan relasi yuridis konstitusional dengan negara, dan akan menimbulkan
kecacatan perasaan kesatuan ikatan dengan warga negara yang lain.
Kesadaran akan kewarganegaraan mesti
dinyatakan dalam bentuk partisipasi demokrasi Pancasila, kepatuhan pada norma
dan hukum negara, kewajiban membayar administrasi negara, pajak, penghayatan
kebudayaan (nasional maupun lokal), norma agama dan perasaan kesatuan ikatan dengan
yang lain, entah karena keturunan, kehendak bersama, kebersamaan sejarah,
geografis, dan demokrafis.
Di tengah paradoks demokrasi seperti itu, Indonesia harus segera bebas dari cengkeraman oligark
bisnis-politis dengan agenda neokolonialisme pasarnya. Agenda neokolonialisme
pasar ini dikampanyekan oleh perusahaan multinasional (multinational
corporations: MNC), yang didukung oleh tiga organisasi internasional: IMF,
World Bank dan WTO. Pemerintah (negara) dan birokrasi negara mesti
merevitalisasi substansi demokrasi Pancasila kepada seluruh warga negara
Indonesia.
Demokrasi Pancasila mengantar
seluruh warga negara mencapai kesetaraan dalam pluralitas dan
multikulturalisme. Demokrasi Pancasila dapat menjamin kembali kesamaan hak dan
kewajiban warga negara dengan latar belakang yang berbeda-beda. Demokrasi
Pancasila mesti menjadi preferensi politik negara Indonesia, bukan preferensi
pasar a la neokapitalisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Darmodiharjo,
Bandingkan Darji., C.S.T. Kansil, dan Kasmin Wuryo, Menjadi Warga Negara Pancasila (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979).
Harari, Yuval Noah. Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia, terj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka
Alvabet, Cet. 3, 2018).
Hardiman, F. Budi. Dalam Moncong Oligarki. Skandal Demokrasi di
Indonesia (Jakarta: PT Penerbit Kanisisus, 2013).
Paulus, B. P. Kewarganegaraan Ditinjau Dari UUD 1945. Khususunya Kewarganegaraan
Peranakan Tionghoa. Tinjauan Filosofis, Historis, dan Yuridis Konstitusional
(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1983).
Suleman,
Zulfikri. Demokrasi untuk Indonesia.
Pemikiran Politik Bung Hatta (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010).
Tan, Peter. Paradoks Politik. Pertautannya dengan Agama
dan Kuasa di Negara Demokrasi (Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai, 2018).
Winters, Jeffrey A. Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).
Internet:
Direktorat Promosi Kesehatan &
Pemberdayaan Masyarakat “Informasi Tentang Virus Corona (COVID-19)”, dalam Promkes.Kemkes.go.id, https://promkes.kemkes.go.id/informasi-tentang-virus-corona-novel-coronavirus, diakses pada 5 Oktober 2020.
Deni,
Melkisedek. “Neoliberalisme Mencengkeram Pilkada 2020”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2020/10/02/neoliberalisme-mencengkeram-pilkada-2020-dan-demokrasi-di-indonesia/, diakses
pada Selasa 6 Oktober 2020.
Putri, Gloria Setyvani. "WHO
Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi Global", dalam KOMPAS. COM, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada Senin, 5 Oktober
2020.
Siregar, Fajri. “Apa Guna 'Orang
Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”, dalam Tirto.Id,
https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020.
[1] Yuval Noah Harari, Homo Deus. Masa Depan Umat Manusia,
terj. Yanto Musthofa (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, Cet. 3, 2018), hlm. 15.
[2] Gloria Setyvani Putri "WHO
Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi Global", KOMPAS. COM, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all, diakses pada Senin, 5 Oktober
2020.
Dalam waktu kurang dari tiga bulan, Covid-19 telah
menginfeksi lebih dari 126.000 orang di 123 negara, dari Asia, Eropa, AS,
hingga Afrika Selatan. Jumlah kasus dan kematian berubah setiap jam, melampaui
sedikitnya 126.141 dengan 4.627 kematian di seluruh dunia pada Kamis pagi,
menurut data yang dikumpulkan World Meter untuk virus corona. Italia memiliki
kasus terbanyak di luar China dengan sekitar 12.462 infeksi, diikuti Iran
dengan 9.000 infeksi, dan Korea Selatan 7.775 infeksi. WHO sangat terlambat
menanggapi kasus pendemi global ini.
[3]Direktorat Promosi Kesehatan
& Pemberdayaan Masyarakat “Informasi Tentang Virus Corona (COVID-19)”,
dalam Promkes.Kemkes.go.id, https://promkes.kemkes.go.id/informasi-tentang-virus-corona-novel-coronavirus, diakses pada 5 Oktober 2020.
[4] B. P. Paulus, Kewarganegaraan Ditinjau Dari UUD 1945.
Khususunya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa. Tinjauan Filosofis, Historis,
dan Yuridis Konstitusional (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1983), hlm. 41.
[5] Darji
Darmodiharjo, C.S.T. Kansil, dan Kasmin Wuryo, Menjadi Warga Negara Pancasila (Jakarta:PN Balai Pustaka, 1979),
hlm. 49.
[6] B. P. Paulus, Op. Cit., hlm. 43.
[7] Hatta
merumuskan hak-hak dasar warga negara yang dicantumkan pada beberapa pasal: (1)
Pasal 1 ayat 2,“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. (2) Pasal 27 ayat 2,“Tiap-tiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
(3) Pasal 28,”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. (4) Pasal 31
ayat 1,”Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran”. (5) Psal 31 ayat
2,“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur dengan undang-undang”. (6) Pasal 33 ayat 1,“Perekenomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” (7) Pasal
31 ayat 2,“Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yan gmenguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” (8) Pasal 31 ayat 3,“Bumi dan air dan kekaaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntu sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dan (9)
pasal 34,”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Baca selanjutnya pada Zulfikri Suleman, Demokrasi
untuk Indonesia. Pemikiran Politik Bung Hatta (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010), hlm. 193-216.
[8] Melkisedek
Deni, “Neoliberalisme Mencengkeram Pilkada 2020”, dalam NTT Progresif, https://nttprogresif.com/2020/10/02/neoliberalisme-mencengkeram-pilkada-2020-dan-demokrasi-di-indonesia/,
diakses pada Selasa 6 Oktober 2020.
[9] Zulfikri
Suleman, Demokrasi untuk Indonesia.
Pemikiran Politik Bung Hatta (Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 184.
[10] Peter
Tan, Paradoks Politik. Pertautannya
dengan Agama dan Kuasa di Negara Demokrasi (Yogyakarta: Penerbit Gunung
Sopai, 2018), hlm. 128.
[11] Jeffrey A. Winters, Oligarki, terj. Oleh Zia Anshor,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 267.
[12] Baca juga Fajri Siregar “Apa Guna 'Orang Baik' dalam Tatanan Oligarkis?”,
dalam Tirto.Id, https://tirto.id/apa-guna-orang-baik-dalam-tatanan-oligarkis-f6nV, diakses pada 27 Oktober 2020. Dalam
artikel ini, Fajri Siregar menjelaskan “di
bawah kepemimpinan SBY pun mendiang George Junus Aditjondro bercerita mengenai
“Gurita Cikeas”yang sejalan dengantesis oligarki. Karena memori kolektif kita
lemah, ada baiknya beberapa contoh untaian kepentingan segelintir orang di
republik ini disebut satu per satu: (1) Kasus lumpur Lapindo sejak 2006;
(2)Pasal rokok yang hilang (2009); (3) Persekongkolan tambang dan politik sejak
2010; (4) Reklamasi Teluk Benoa sejak 2012; (5) Reklamasi Teluk Jakarta sejak
2012; (6) UU Pilkada (2014); (7) Mafia Migas dan kegagalan pembangunan kilang
minyak sejak 2014; (8) Kasus Semen Rembang sejak 2017; (9); Keterpaksaan impor
garam sejak 2017; (10) Revisi UU KPK (2019); (11) UU Cipta Kerja sejak 2019;
(12) UU Minerba (2020); dan (13) Impor Ventilator (2020)”.
[13] F. Budi Hardiman, Dalam Moncong Oligarki. Skandal Demokrasi di
Indonesia (Jakarta: PT Penerbit Kanisisus, 2013), hlm. 54-55.
[14] Ibid.,
*Artikel ini menjuarai (4) pada SAYEMBARA Nasional penulisan Artikel yang diasakan oleh STFK Ledalero dan terbit di AKADEMIKA VOL. 18, NO. 2, JULI-DESEMBER 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Pandemi Covid-19, Kewarganegaraan dan Demokrasi Pancasila"