WAKTU
|
Sapardi Djoko Damono merenungkan “waktu” dalam bentuk puisi berjudul Yang Fana adalah Waktu. Sapardi tahu
betul bahwa waktu itu fana, dan manusia abadi. Puisi ini setidaknya
menstimulasi daya imajinasi kreatif kita, ketika masyarakat dunia mereduksi
manusia dan melanggengkan waktu. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” kata
Sapardi. Dan “Kita abadi.”
Ketika
Anda duduk dan membaca kalimat bercetak tebal ini, sesungguhnya Anda tidak sedang menghitung dan/ atau
mengukur waktu. Memang waktu dapat dihitung dan/ atau diukur, tapi ia fana. Waktu
itu pasti (tapi fana) di luar
ketidakpastian manusia. Substansi manusia tidak pernah dapat dihitung dan/ atau
diukur oleh alat ukur apa pun! Manusia memiliki alat ukur tersendiri yang jauh
lebih cerdas dan cekat, yang tidak pernah dapat disimpulkan oleh akal budi
secara sewenang-wenang.
Titik tolak
refleksi waktu ialah kesadaran atas prapemahaman kita akan eksistensi manusia
sebagai substansi yang kompleks. Kompleksitas manusia tetap paradoks selamanya!
Paradoks manusia ada di dalam sekaligus di luar waktu. Setiap ekspresi manusia
memiliki intensi entah demi realitas fisika ataupun demi realitas metafisika!
Bagaimana aksi-reaksi dan ekspresi manusia di depan realitas kematian?
Sesungguhnya
kematian harus dialami oleh semua manusia. Sebab kalau manusia lahir dalam
waktu, ia pun harus mati di luar waktu! Bayang-bayang kematian tidak berada di
luar waktu, dan ia senantiasa menspionase manusia. Bila manusia tahu pada waktu
mana kematian datang, sudah pasti manusia berwaspada, dan melakukan negoisasi:
menunda kematian! Kematian merupakan puncak dari pengalaman kemalangan manusia.
Dalam puisi berjudul Yang Tak Menarik dari Mati, Goenawan Mohamad menulis,“Yang
tak menarik dari mati/ adalah
kebisuan sungai/ ketika
aku/ menemuinya.” Kematian ialah pengalaman kengerian yang melampaui kegelisahan!
Akan tetapi
kematian merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian orang yang susah sekali
merasakan kebahagiaan selama berada di bumi. Mereka selalu menderita penyakit,
kemiskinan, kelaparan, ditindas, dipinggirkan, dirampas dan dibisukan. Bagi
mereka, kematian adalah berkat/ rahmat terakhir yang mesti segera diterima!
Joko Pinurbo menulis dalam puisinya berjudul Calon Jenazah, “Mari kita ikhlaskan kepergian saudara kita
yang kita banggakan ini. ia telah bertempur dengan hebat melawan sakitnya yang
berat/ saat ajal memeluk memeluknya/ saya sedang berada dala sakitnya.”
Seharusnya
kita tidak mati, jika kita berada di luar waktu, bukan? Kalau begitu, bagaimana
kalau kita membunuh “waktu” itu? Ada orang yang bertanya, mana yang dulu ada;
waktu atau manusia? Waktu yang menciptakan
manusia atau manusia yang menciptakan waktu? Saya sendiri belum tahu
jawabannya! Tetapi, dengarkanlah isi solilokuiku ini:
Aku tak mau rayakan ulang tahun. Sebab itu aku
perlahan lenyap dari bumi. Aku tak suka dengar jam berapa sekarang? Karena itu,
aku sedang dimakan detik. Kau mau diceritakan oleh keturunanmu? Bila detik
semakin cundang akan melupakan dan melenyapkan dikau. Debumu akan menjadi pupuk
bagi tetumbuhan di bumi ini. Aku benci
sekali dengan pertanyaan; berapa umurmu sekarang? Sebab itu sebenarnya dia
sedang mengantar aku kepada alam maut, di mana Tuhan pun taat padanya. Dosa
manusia tak terampuni yang abadi ialah berani lahir, hidup dan wafat dalam
waktu. Di dalamnya hanya setengah detik kau bahagia, selebihnya kau merintih
dan menjerit seluruh usia.
Meskipun
sang aku tidak mau mati, tapi pandemi Covid-19 sedang membayang-bayangi aku,
dan menspionase penziarahan-ku ini. Adakah aku tidak segera mati? Pandemi
Covid-19 mempercepat kematian manusia tanpa bedil, tanpa pasukan perang, tanpa
atom dan tanpa rudal! Pandemi Covid-19 menetakkan kematian pada bahu kita!
Kelaparan, kemiskinan, pengisapan, pencaplokan, alienasi dan pembisuaan mencuat
ke permukaan. Semacam drone, sekali pandemi Covid-19 melihat, ia melahap sampai
kita lenyap dan ia sendiri nyaris tak letih.
Menjenazakan Waktu
Hari-hari
kita hanya memuat dua lakon; panik dan dilema. Sebab itu, kita tunggu giliran
saja! Tapi, kita tidak mau mati, bukan? Sirene ambulans mengiringi panik dan
dilema. Kota-kota lebam dan membungkam. Udara gerah pun terbisu. Kematian yang
dipaksakan Covid-19 membuyarkan seluruh agenda kita. Dalam puisi berjudul
Pulang Malam, Joko Pinurbo menulis, “Di
atas puing-puing mimpi/ dan reruntuhan waktu/ tubuh kami hanus dan membangkai/
dan api siap melumatnya/ menjadi asap dan abu.” Batas antara hidup dan mati
tampak menganga lebar di depan kita. Barangkali waktu dapat menghapus batas
antara mati dan hidup. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” kata Saprdi.
Manusia abadi! Manusia-lah yang harus memusnahkan pandemi Covid-19 dan
mengendalikan waktu!
Adakah
kita didapati masih hidup setelah kita mengurung diri selama ribuan waktu di
rumah? Pandemi Covid-19 menyekap kita di dalam rumah, dan menjenazahkan kita
secara tragis. Terhadap Covid-19, kita yang “liar, cerdas, cekat, dan cerdik” ternyata
mudah takluk, turut, sahaya, pandir dan meratap. Seumpama panoptikum, Covid-19
melihat berarti menangkap. Menangkap berarti melahap dan kita mengap-ngap dan
tak sempat menguap dua kali!
Roda
peradaban seakan-akan berjalan di luar rel naskah; dan kita tunggu si Covid-19
yang akas. Hari-hari manusia merayakan kematian dan mengutuk waktu. Pada dekade
kedua abad ke-21 ini, segala keburukan, kejahatan, kegelisahan dan kemalangan
diciptakan oleh pandemi Covid-19. Tugas manusia ialah meluhurkan kemanusiaannya.
Dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia harus
sanggup membunuh virus-virus yang memusnahkan manusia, dan “menjenazahkan”
waktu. Manusia teknologi harus memberikan ciri dan pengaruh yang berbeda dengan
manusia purba.
Meluhurkan Manusia
Tragisnya,
demi kemajuan manusia memandang manusia lain hanya sebagai alat hitung/ ukur
untuk meningkatkan laba, menaikkan produksi ekonomi, dan meraih pendapatan per
kapita. Kodrat manusia direduksi, dihitung, ditindas, diperalat dan
dikendalikan demi kepentingan tertentu. Seakan-akan manusia sama seperti waktu,
yang dapat diukur/ dihitung dan dijualbelikan. Alih-alih membebaskan dan
memanusiakan manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi justru
mengendalikan dan memperalat manusia. Jean-Jacques
Rousseau benar: “manusia terlahir bebas; namun di mana-mana dia terbelenggu”.
Manusia
panik terhadap masa depan, tetapi sekaligus dilema di depan realitas saat ini. Waktu
berproses menuju “beradab”, tetapi manusia semakin “dibiadabkan. Teknologi
canggih semakin “rasional”, tetapi manusia semakin “irrasional” di dalamnya. Penyakit akut—dari
teknofobia menjelma menjadi teknomaniak—harus segera disembuhkan! Itulah tugasmu, Manusia!
Max
Horkehimer dan Theodor W. Adorno dalam buku Dialectic
of Enlightenment (London:Alen Lane, 1973) menggunakan mitos Odyssius untuk menjelaskan
nasib manusia dengan mengorbankan diri terhadap pelbagai dominasi dari luar
dirinya, termasuk teknologi, pandemi Covid-19, dan waktu. Horkeimer dan Adorno
melukiskan bagaimana Odyssius mengatasi segala dominasi—keburukan,
kungkungan nasi, tipu muslihat dan pemalsuan kesadaran—dengan
segala kecerdasan (akal budinya), meskipun ia harus licik. Tanpa menggunakan
akal budi, ia dimusnahkan oleh kekuatan dominasi dari luar dirinya.
Odyssius
harus meninggalkan Panelope, istrinya dan Itacha, kampung halamanya. Odyssius melawan
dominasi Siren (penyihir dengan suara yang amat merdu), Polyphemus (raksasa
bodoh bermata satu), Circe (dewi cantik-penyihir-penakluk lelaki; kalau mau
selamat dari sihirnya, Odyssius harus melayani keinginan seksualnya), dan
Teiresias (terwujud dalam bayang-bayang). Petualangan Odyssius adalah
petualangan akal budi manusia; akal budi manusia harus bebas dari segala bentuk
dominasi dari luar. Selain itu, mitos Odyssius dapat menjadi landasan kukuh
untuk merebut kembali kemanusiaan kita; kebebasan, kemandirian, otoritas,
rekontrruksi diri yang tak pernah selesai, dan keluhuran kita.
Akhirnya pandemi
Covid-19 memang telah “menjenazahkan” sekian banyak waktu dan memusnahkan sekian
juta manusia. Akan tetapi kita tidak boleh mereduksi kemanusian kita demi
tujuan dan kepentingan apa pun. Manusia tidak boleh jadi alat! Akal budi
manusia mesti segera dibebaskan dari dominasi rasionalitas teknologis dan
algoritmanya yang diskriminatif. Dengan teknologi canggih, imu pengetahuan, dan
kebudayaan kita merangsang kembali kesadaran kita akan keluhuran manusia. Berpikir,
bertanya, berefleksi dan menjawab perkara-perkara hidup merupakan usaha untuk
mengabadikan manusia. Di dalam waktu yang fana, kita meluhurkan akal budi
manusia dan kemanusiaan kita.
*Artikel ini pernah terbit di Jurnal Vox Ledalero seri 66/01/2021. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "WAKTU"