Pilkada, Pasar Bebas dan Pembebasan
|
Pandemi
Covid-19 masih belum bisa dimatikan. Akan tetapi pesta demokrasi (Pilkada) akan
diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Pilkada akan diselenggarakan di 270
daerah yang meliputi 9 pemilihan gubermur, 37 pemilihan wali kota, dan 224
pemilihan bupati, termasuk bebarapa kabupaten di Nusa Tengggara Timur. Sementara
polemik terkait pelaksanaan Pilkada semakin hangat. Dalam sistem demokrasi,
polemik seperti itu lumrah terjadi, jika polemik memiliki intensi, yaitu
kebaikan bersama dan keadilan bagi seluruh masyarakat warga.
Pada
Pilkada kali ini ada yang sangat mengkhawatirkan. Pertama, darurat kemanusiaan.
Ada gerakan pembisuan, penindasan, perdagangan manusia, eksploitasi tubuh,
teror terhadap kelompok LGBT, pencaplokan dan pembabatan hutan secara liar. Tidak
ada kepastian hukum dan norma yang berlaku universal. Hukum, norma sosial dan
pelaksanaan keadilan hanyalah seni labirin yang melanggengi operasi pragmatis
kelompok super kaya. Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat berubah jadi
kesejahteraan pemodal, elite pragmatis, teknokrat, birokrat dan oligark
kapitalis. Jean-Jacques Rousseau benar: manusia terlahir bebas; namun di
mana-mana dia terbelenggu.
Kedua,
darurat ekonomi. Pandemik Covid-19 membuat ekonomi nasional dan internasional
seakan terhenti dari kelajuaannya yang tak terkendali. Tak terkecuali
Indonesia, krisis ekonomi global ini seakan mencengkeram Pilkada. Pandemi
Covid-19, dan krisis ekonomi nasional turut memengaruhi pesta demokrasi tingkat
daerah di Indonesia. Para kontestan, seperti iklan produk rokok atau ABC Mocca,
ramai-ramai memajangkan slogan-slogan politis di mana-mana. Kalau slogan-slogan
komoditas pasar dipajang guna memancing finansial konsumen, maka slogan-slogan
politis menggaet suara dengan membagikan sejumlah uang dan material ke rakyat
pemilih. Percaturan politik sama dengan persaingan pasar yakni guna mendapatkan
keuntungan, transaksi ekonomi, dan nilai lebih.
Masyarakat
kelas menengah ke bawah mudah dipengaruhi oleh praktik politik seperti ini. Masyarakat
kelas menengah ke bawah sangat sulit mengakses pekerjaan, menganalisis agenda
politik, kebijakan publik, termasuk protokol kesehatan dan hanya sibuk mengurus
produksi ekonomi. Suara mereka—hak
politik dan substansi demokrasi tercerabut—dijual ke para kandidat demi
mempertankan kelangsungan hidupnya. Krisis ekonomi dan penjualan suara terjadi
karena masyarakat pemilih tidak mampu lagi beradaptasi dengan wabah Covid-19
ini.
Ketiga,
darurat partisipasi demokrasi. Di tengah wabah Covid-19 ini, kita sulit
membedakan ranah politik dan pasar. Pasar dijadikan paradigma politis,
akibatnya ranah politik dijadikan ruang persaingan kepentingan (ekonomi) secara
kompetitif. Para politisi menggunakan paradigma pasar guna membeli suara hati
nurani rakyat, dan kesadaran warga seakan-akan dipalsukan. Proses demokratis
berubah menjadi pasar, tempat transaksi dan investasi ekonomi terjadi. Selain
itu, karena alasan pandemik, potensi partisipasi masyarakat dalam pesta
demokrasi menurun. Masyarakat lebih sibuk menunjang ekonomi, keselamatan diri
dan ketahanan hidup daripada berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Hal ini
berdampak pada krisis legitimasi demokrasi.
Persaingan Pasar Bebas
Pilkada
serentak di tengah wabah ini mendesak masyarakat agar benar-benar waspada.
Masyarakat harus berwaspada kepada penularan pandemik Covid-19 dan persaingan
ekonomi pasar bebas tak terkendali. Pilkada dan pasar bebas bermain dalam arena
yang sama. Pasar merebut masyarakat warga demi kepentingan diri: perluasan
wilayah produksi dan peningkatan per kapita. Pilkada menegaskan partisipasi masyarakat
warga sebagai subjek demokrasi.
Alih-alih
melegitimasi proses demokratis, Pilkada justru terjebak dalam perangkap
persaingan ekonomi pasar bebas. Para kontestan mesi bercokol pada pemilik
modal, dan membeli retorika politis pada elite politis dan birokrat. Kaum
bermodal, oligark kapitalis, elite pragmatis dan kelompok teknokrat mencari
lahan untuk memperluas wilayah ekspansi-eksplotatif, investasi-pencaplokan, dan
transaksi ekonomi. Lahannya ialah masyarakat warga, pemerintah (negara),
partai-partai dan para politisi.
Pasar
sebagai preferensi politik dapat dipakai oleh kekuatan-kekuatan bisnis-politis
tertentu untuk menjalankan kepentingan mereka (F. Budi Hardiman, 2013: 27).
Hardiman berendapat bahwa kebijakan pasar bebas menyediakan banyak fasilitas
bagai sekelompok kecil pemilik modal besar, sedangkan sekelompok besar bermodal
kecil tidak memiliki akses ke dalam fasilitas-fasilitas itu. Sistem ekonomi
neokapitalistik menyusup dalam agenda politik pembangunan dan ekonomi politik
negara.
Harus
diakui bahwa pemerintah (negara), elite politisi, aparat negara dan tidak
sedikit kaum intelektual berpihak kepada neoliberalisme dan turut
memprogandakannya di ruang publik pasar. Neoliberalisme dipandang sebagai
terapi ekonomi nasional dari krisis ekonomi yang mendera Indonesia tahun 1997 (Awalil
Rizky dan Nasyith Majidi, 2008:21-22). Mereka berpandangan bahwa kemajuan dan
kesejahteraan bangsa hanya bisa diperoleh. jika Indonesia menganut sistem
ekonomi neoliberalisme. Akan tetapi, penerapan neoliberalisme ini justru
memperparah keadaan ekonomi nasional dan meningkatkan potensi penderitaan
rakyat.
Segelintir
orang super kaya dan para politisi bekerja bersama membeli dan mendominasi
ruang publik: kebijakan publik, pelyanan publik, infrastruktur sosial,
infrastruktur pembangunan dan menyusup masuk ke dalam birokrasi negara.
Pelayanan publik dan pesta rakyat, demokrasi, dibeli berdasarkan
mekanisme-mekanisme kalkulasi pasar. Masyarakat warga sebagai subjek demokrasi
diperlakukan sebagai konsumen, atau nasabah yang diperalat dan dipandang
sebagai alat peningkatan produksi. Itulah bentuk neokolonisasi pasar sejak
pasca Suharto.
Pilkada Vs Pembebasan
Manusia?
Tak
ayal, kebebasan masyarakat warga kelas menengah ke bawah diperalat dan
dikalkulasi dengan mekanisme-mekanisme mutakhir neokapitalistik. Masyarakat
warga seakan-akan diprogramkan sedemikian mungkin agar sepenuhnya tergantung
pada kebijakan dan agenda neokapitalistik kaum elite pragmatis, oligark
kapitalis dan kelompok birokrasi negara. Tidak ada ruang (media massa) yang
dapat menjadi corong aspirasi masyarakat warga, karena logika perusahan media
massa mengikuti sistem ekonomi neokapitalistik.
Masyarakat
warga sedang diperparah selain oleh wabah pandemi Covid-19, politik cukong, komersialisasi
proses demokratis, ketiadaan agenda politik pembangunan, pencaplokan,
eksploitasi tubuh, tetapi juga transaksi suara pada Pilkada ini. Pilkada
semestinya menjadi corong aspirasi masyarakat warga: penegasan rakyat sebagai
subjek demokrasi, identitas kewarganegaraan, hak atas politik, dan terutama
misi pembebasan dari dari praktik-praktik kejahatan sebelumnya.
Alih-alih
pembebasan manusia, kesejahteraan umum dan keadilan sosial-ekonomi-politik bagi
seluruh, Pilkada terjerat dalam logika ekonomi neokapitalistik. Sistem ekonomi
neokalpitalistik melanggengkan segala sesuatu sebagai komoditas yang dapat
diperdagangkan. Tak ayal, keselamatan, pembebasan, kesejahteraan dan keadilan
sosial-ekonomi-politik pun terjerat dalam imperatif-imperatif pasar itu. Pilkada
semacam itu tidak dirancang dan dibangun demi kepentingan masyarakat warga,
tetapi oleh oligarki kapitalis-politis.
Oligarki
kapitalis-bisnis mendonor sedemikian uang dan material-komoditas pasar kepada
para kandidat dan partai-partai demi memancing dan menggaet suara rakyat.
Pilkada bukannya membebaskan masyarakat warga dari belenggunya, malah
membebaskan oligark kapitalis-politis dalam menggalakkan dan memprogandakan
agenda ekonomi neokapitalistik tanpa kendali di tengah masyarakat kelas
menengah ke bawah.
Di
tengah krisis legitimasi demokrasi, persaingan pasar bebas, dan wabah pandemi
ini, masyarakat warga membutuhkan gerakan-gerakan sosial, yang dapat mewakili
aspirasi mereka dan membebaskan mereka dari korban persaingan bebas secara
kompetitif di ruang publik. Gerakan sosial ini harus progresif-produkif dan
emansipatoris, dan merupakan gerakan kolektif dengan orientasi demi kepentingan
publik, dalam hal ini masyarakat sipil. Gerakan sosial ini selain menyalurkan
sarana komunikasi, media massa yang kritis, tenaga kerja dan finansial, tetapi juga
menjamin legitimasi demokratis, loyalitas, jaringan sosial, pelayanan publik,
solidaritas, dan penghormatan terhadap moralitas.
Gerakan
sosial yang progresif-produktif dan emansipatoris ini bermaksud membebaskan masyarakat
warga dari jebakan persaingan pasar bebas tak terkendali dan praktik hipokrisi
para politisi dan birokrasi negara. Selain itu, hendaknya gerakan sosial ini
membangun idea-idea dan gerakan-gerakan yang dapat membebaskan pemerintah
(negara), aparatur negara, birokrasi negara dan partai-partai dari jeratan
agenda ekonomi neokapitalistik.
Hal
ini bermaksud membangun citra politik bebas dominasi dan pencaplokan atas
masyarakat warga kelas menengah ke bawah. Dengan demikian cita-cita masyarakat
warga sebagai subjek demokrasi mendapat tempat dan diterjemahkan dalam
kebijakan ekonomi politik, hukum dan norma bersifat universal, politik
pembangunan dan pembangunan sumber daya manusia. Pandemi Covid-19 tidak
merintangi cita-cita universal itu, dan Pilkada bisa menjadi corong sekaligus
tolok ukurnya.
*Artikel ini pernah terbit di VoxNTT.com edisi 23 Oktober 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Pilkada, Pasar Bebas dan Pembebasan"