Neoliberalisme Mencengkeram Pilkada 2020
Tiap hari penambahan kasus
baru pandemik Covid-19 kian meningkat. Pandemik ini tidak hanya memusnahkan
manusia, tetapi juga mencengkeram agenda pemilihan umum kepala daerah di tanah
air. Akibatnya Pilkada ditunda dari September 2020 menjadi Desember 2020.
Apakah Desember 2020 pandemik Covid-19 berakhir, dengan demikian kita dapat
menyelenggarakan Pemilu Kada?
Pilkada Serentak Desember
2020 akan mengalami penurunan partisipasi politik dari rakyat pemilih. Jika
Pilkada ini dipaksakan untuk diselenggarakan, maka legitimasi demokrasi diragukan!
Akan tetapi kalau Pilkada
ditunda lagi sampai pandemik berakhir, tentu kebijakan itu bukan solusi yang
tepat. Apalagi tak seorang pun dapat memastikan pandemik ini akan berakhir.
Jika Pilkada tetap diselenggarakan, apakah Pilkada bebas dari jebakan
neoliberalisme? Jangan-jangan kaum kapitalis neoliberal mendonor sejumlah
material-uang demi kelancaran Pemilu Kada? Pemilu Kada jadi pasar baru di
tengah pandemik ini!
Neoliberalisme memiliki
pengaruh yang besar dalam kebijakan ekonomi nasional Indonesia. Akan tetapi
bukankah secara konstitusional negara tetap memiliki peranan besar dalam pembangunan
ekonomi nasional sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945? Dengan demikian konstitusi Negara harus menyejahterakan segenap bangsa
Indonesia, bukan sistem ekonomi neoliberalisme.
Geliat Neoliberalisme di Indonesia
Beberapa dekade terakhir
ini, praktik diskursif neoliberalisme yang digalakkan oleh kaum kapitalis
berpenetrasi dan menerobos batas-batas konstitusional Negara Indonesia terutama
dalam hukum dasar pembangunan ekonomi nasional.[1] Di
Indonesia praktik hegemoni neoliberal telah mengakibatkan ketidakpastian hukum
dasar dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Padahal peranan
entitas dan mekanisme pasar dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia
sangat dibutuhkan.
Penetrasi hegemoni
neoliberisme dalam tubuh konstitusional Negara terutama dalam menyusun agenda pembangunan
ekonomi nasional sangat berbahaya bagi ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia.
Diskursif neoliberlisme mengendalikan, memperlemah dan membungkam peranan
Negara. Lalu di manakah fungsi Negara sebagai pelindung keamanan dan kesejahteraan?
Di Indonesia, sejak tahun
1980-an secara rahasia ekonomi neoliberal dimplementasikan dan digalakkan oleh
kaum kapitalisme neoliberal global. Pada saat itu, harga minyak mentah jatuh,
pembayaran ULN mulai besar, sedangkan proyek-proyek pembangunan ekonomi belum
terlalu ataupun pendapatan ke kas negara.[2]
Pemerintah Orde Baru mendapat kesulitan dalam APBN-nya. Sejak itu pulalah tema-tema
seperti: liberalisasi, khususnya bidang perbankan dan keuangan; debirokratisasi
dan deregulasi; privatisasi BUMN; upaya memacu ekspor nonmigas, dan sebagainya berkembang
di tanah air.
Di tengah krisis inilah kaum
kapitalis berbasis sistem ekonomi neoliberal hadir berkedok pengorbanan dan
mengalirkan bantuan, menerobos masuk ke ranah sistem ekonomi Pancasila. Kaum
kapitalis menggobalkan sistem ekonomi neoliberal dengan meleburkan ekonomi
lokal dan nasional ke dalam persaingan pasar global. Penetrasi hegemoni
neoliberal ini selain mencaplok kedaulatan negara, tetapi juga berdampak pada
reformasi politik pembangunan nasional. Kaum kapitalis, Bank Dunia, dan IMF
mempromosikan agenda-agenda desentralisasi politik kepada negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.[3] Dengan
dimandori oleh IMF, pemerintah Indonesia secara resmi menjalankan sebagian
besar paket kebijakan ekonomi neoliberal.[4]
Betapa tidak, kapitalisme neoliberal
ini dimandori oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO. Selanjutnya segelintir orang
super-kaya, dan oligarki kapital yang dibantu oleh perusahaan-perusahaan swasta
nasional dan transnasional menjadi rezim tunggal yang mengeksplorasi,
memerintah, mengendalikan dan mengksploitasi masyarakat miskin secara tak
terkendali.
Sistem ekonomi neoliberal
telah mengontrol, memerintah, mengeksplorasi dan mengeksploitasi masyarakat
Indonesia secara tak terkendali. Kini Indonesia mengalami krisis moneter secara
nasional, dan berdampak terhadap usaha kerja sama ekonomi internasional. Sistem
perbankan Indonesia sangat lemah dan tidak bisa bersaing di kancah
internasional. Akibatnya bantuan dan/ atau finansial dari luar negeri dan kerja
sama ekonomi tansnasional tersendat dan macet.
Sistem ekonomi neoliberal
ini tidak hanya mengancam dan membahayakan sistem ekonomi, tetapi juga
peradaban manusia, martabat manusia, keselamatan bumi, kekuasaan Negara dan tubuh
demokrasi di Indonesia. Sebab ekonomi neoliberal ini dirancang demi kepentingan
diri sendiri dan mengejar laba keuntungan ekonomi di atas semua nilai yang
lain, tak terkecuali karakternya yang anti pemerintahan kerakyatan (demokrasi).[5]
Neoliberalisme Musuh Demokrasi?
Saat ini Negara-negara
menganut sistem pemerintahan demokrasi, terutama setelah berakhir perang dingin
pada 1990. Demokrasi dipandang sebagai sistem yang ideal; sistem yang berasal
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi juga menganut prinsip pembagian
kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sistem ekonomi neoliberal merupakan
musuh demokrasi. Kaum oligark kapital dan para politisi memanfaatkan isu
kemiskinan, alienasi, ketertinggalan, dan sentimen-sentimen primordial yang ada
di masyarakat untuk meraih dukungan elektoral, menggaet keuntungan lebih dan mengejar
kepentingan ekonomi. Kapitalisme neoliberal merupakan praktik ekonomi pasar
bebas tak terkendali yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dengan
pelbagai agenda ekspansi, eksplorasi dan eksploitasinya. Kapitalisme neoliberal
merupakan salah satu musuh demokrasi di Indonesia.
Awalil Rizky dan
Nasyith Majidi secara
ringkas menggambarkan agenda dan instrumen neoliberalisme di Indonesia,[6]
yang tentu saja anti-demokrasi:
§
Agenda
Neoliberalisme di Indonesia:
·
liberalisasi
keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas, pengembangan BEJ.
·
liberalisasi
perdagangan; meratifikasi keputusan WTO.
·
pengetatan
prioritas APBN, termasuk pencabutan
subsidi.
·
privatisasi
BUMN.
·
penjualan
korporasi domestik kepada modal internasional.
·
perlindungan
maksimal bagi hak milik pribadi (swasta).
·
penerapan
harga pasar bagi energi.
·
mekanisme
harga bagi pasar tenaga kerja; minimalkan perlindungan buruh.
·
Bank
Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII dari BIS.
§
Instrumen
utama neoliberalisme pada tingkat internasional: IMF, negara adidaya, World
Bank, WTO, BIS, MNC, pasar uang/ modal internasional,dan lain-lain
§
Instrumen
utama neoliberalisme pada tingkat domestik: UU/ peraturan, kebijakan ekonomi
pemerintah, kebijakan moneter/ perbankan dari Bank Sentral, kapitalis kroni,
bursa saham, ahli ekonomi, ahli keuangan dan akuntansi, opini publik
Aleksander Jebadu
berpendapat bahwa “selain kelola internal dari kapitalisme neoliberal ini tidak
demokratis, korporatokrasi global—aliansi antara pemerintah negara-negara industri, IMF,
Bank Dunia, WTO dan perusahaan-perusahaan raksasa dunia— de facto memerintah
dan mengendalikan kehidupan masyarakat dunia.”[7]Sistem
kapitalisme neoliberal ini tak pernah bisa menyelamatkan Negara-negara
demokratis, malah mencengkeram tubuh demokrasi dan Pilkada yang akan
diselenggarakan di beberapa daerah di Indonesia.
Neoliberalisme Mencengkeram Pilkada 2020
Negara mesti menjamin kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat warga. Kesejahteraan umum tidak semata-mata bergantung
pada warga negara tetapi terutama bagaimana Negara menetapkan sistem universal dan
nilai-nilai normatif yang mendasari hidup bersama. Di Indonesia sistem yang
mendasari hidup bersama itu tampak dalam sistem ekonomi Pancasila dan demokrasi
ekonomi.
Dalam Pilkada, para
kontestan membutuhkan fasilitas dan dana untuk mengakses dan menggaet suara
para pemilih. Para pemilik modal membutuhkan corong untuk dapat mengalirkan,
memperlancarkan dan memperluaskan wilayah kekuasaan ekonominya. Para calon
tentu membutuhkan pemilik modal, dan sebaliknya pemilik modal membutuhkan para
calon untuk kepentingan perluasan wilayah produksinya. Simboisis mutualisme ini
sama-sama membunuh masyarakat warga dan mengancam tubuh demokrasi.
Neoliberalisme yang
dirancang hanya demi kepentingan segelintir orang-super kaya harus ditolak di
Indonesia. Tentang bagaimana menolak neoliberalisme di Indonesia tidak dapat
ditentukan secara a priori melauli opini dan teori-teori.
Awalil Rizky dan Nasyith
Majidi mengatakan bahwa tingkat penolakan mestinya ditampilkan dalam bentuk
yang maksmimal, yakni perlawanan; baik berupa perlawanan konseptual maupun yang
bersifat aksi; individual maupun komunitas; perlawanan rakyat maupun perlawanan
negara.[8]
Semua perlawanan itu bisa
dilakukan sesuai dengan mekanisme politik yang ada, secara demokratis dan tanpa
kekerasan. Praktik hegemoni neoliberalisme sudah berjalan sangat jauh, dan
telah hampir sepenuhnya mencengkeram perekonomian Indonesia[9]
dan keberadaan demokrasi. Jika legitmasi demokrasi dicengkeram oleh sistem
ekonomi neoliberal, maka Pilkada pun akan kehilangan substansinya. Sebab
modal-uang melanggengkan segalanya, termasuk menjualbelikan kekuasaan politik.
Kedaulatan tidak dimiliki oleh rakyat, tetapi oleh kelompok-kelompok yang
memiliki akses ke dalam pemerintahan, seperti elite, oligarki kapitalis dan
segelintir orang super-kaya. Dengan demikian Pilkada terjebak dalam lingkaran
bisnis ekonomi pasar bebas tanpa kendali.
[1] Awalil Rizky dan Nasyith Majidi,
Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia
(Jakarta: E Publishing, 2008), hlm. 262-285. Awalil Rizky dan Nasyith Majidi
secara khusus menganalisis agenda neoliberalisme di Indonesia. Lihat juga Aleksander
Jebadu, Drakula Abad 21. Membongkar
Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir
Berhukum Rimba & Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2020), hlm. 231-270.
[2] Awalil Rizky dan Nasyith Majidi,
Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia,
Ibid., hlm. 281-282.
[3] Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik.
Analisis Kontra-Hegemoni dengan Fokus Studi Kasus di Manggarai
Raya-NTT-Indonesia (Ngggorang: Sunspirit Books, 2013), hlm. 2.
[4] Awalil Rizky dan Nasyith Majidi,
Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia,
Op. Cit., hlm. 282.
[5] Aleksander Jebadu, Drakula Abad 21.Ibid., hlm. 238-242.
[6] Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, Op. Cit., hlm. 285
[7] Aleksander Jebadu, Op. Cit., hlm. 241-242.
[8] Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, Op. Cit., hlm. 291.
[9]
Ibid.,
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 2 Oktober 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Neoliberalisme Mencengkeram Pilkada 2020"