Normal Baru, Neoliberalisme dan Penderitaan Global
Melki Deni |
Pandemi Covid-19 adalah
penderitaan global. Semua Negara diguncang oleh serangan pandemic ini. Di
Indonesia, kebijakan menyelamatkan masyarakat dan melindungi perekonomian dari
dampak negatif pandemik Covid-19 ditandai penyelewengan uang Negara yang sangat
masif.
Dampak penyebaran Covid-19
membebani aktivitas poltitik ekonomi dalam jangka pendek sehingga menimbulkan
riskan terhadap prospek ke depannya. Selain usaha penanganan Covid-19 dan
pemulihan ekonomi nasional, kita pun perlu mewaspadai mengguritanya ekonomi
model neoliberalisme di Indonesia.
Mewaspadai Mengguritanya Ekonomi Neoliberal di Indonesia
Sistem ekonomi neoliberal[1]
berkisar pada empat kredonya yang paling dasar, yakni; pertumbuhan ekonomi yang
stabil (sustained economic growth),
pasar bebas (free markets),
globalisasi ekonomi (economi
globalization), dan privatisasi (privatization).
Ekonomi neoliberal[2] dipropagandakan
secara sepihak, dan kerapkali diimplementasikan melalui kekerasan militer.
Misalnya, misi ekonomi rahasia dari Milton Friedman dari Sekolah Ekonomi
Chicago[3]
dan Sekolah Ekonomi Berkley di California.[4] Di
Indonesia, sejak tahun 1980-an sampai saat ini, secara rahasia ekonomi
neoliberal diimplementasikan.
Empat kredo ini mendorong
persaingan bebas ekonomi, meningkatkan efisiensi, dan pilihan konsumen,
menciptakan lapangan kerja, menurunkan harga-harga barang konsumen dan akan
menguntungkan masyarakat dunia. Menurut Aleks Jebadu, semua argumen yang pro
ekonomi neoliberal ini penuh kepalsuan.[5]
Teori ekonomi neoliberal telah dikritik sebagai ilusi dan bahkan hanya mitos
karena tidak sesuai dengan realitas.
Implementasi neoliberalisme
selalu menimbulkan persoalan-persoalan mendasar bagi perekonomian suatu Negara.
Pengangguran, kesenjangan, kemiskinan, dan deindustrialisasi merupakan karakteristik
yang paling dasar melekat dalam pengimplementasian ekonomi neoliberalisme.
Serangan pandemik ini membuat
hampir semua negara tidak mampu mengadakan agenda-agenda politik-ekonomi
progresif, selain penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi selama pandemik
ini berlangsung. Ketiadaan agenda politik progresif ini, justru dibaca, diolah
dan dimanfaatkan dengan santun oleh kaum kapitalis global.
Kini, musush Indonesia tidak
hanya serangan pandemik Covid-19, tetapi juga belenggu sistem ekonomi
neoliberal yang digelontorkan oleh kapitalisme global. Taruhannya ialah; masyarakat
kelas menengah ke bawah dunia ketiga.[6]
Kaum kapitalis mengisap, mengeruk dan menjarah kekayaan alam dunia ketiga
melalui perusahaan swasta nasional dan swasta transnasional.
Kaum kapitalis memanfaatkan
perusahaan stasta nasional dan transnasional sebagai alat peningkatan dan
perluasan produksi ekonomi berbasis pasar bebas tanpa kendali. Di sini
protagonisnya adalah negara-negara industri kapitalis, lembaga keuangan
internasional (IMF, Bank Dunia dan GATT/ WTO).[7]
Neoliberalisme, alih-alih membantu
suatu Negara membangun ekonomi kemasyarakatan dan mengikat seluruh masyarakat
warga, ternyata menimbulkan persaingan pasar dan menyuburkan mental
konsumerisme masyarakat. Pasar menjadi tempat persaingan bebas masyarakat
dunia, menurut kaum kapitalis neoliberal, dan pasar menjadi penentu tunggal
dalam menstabilkan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan masyarakat dunia.
Untuk menghindari dampak
negatif dari implementasi ekonomi neoliberalisme ini, sangat dibutuhkan usaha-usaha
yang matang dari suatu Negara. Sebab dampak negatif ekonomi neoliberal tidak
hanya menggerogoti dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi sosial dan politik.
Indonesia harus mempunyai
persiapan mekanisme ekonomi yang matang sebagai syarat mutlak, apabila
Indonesia tidak ingin terperangkap dalam persaingan ekonomi berbasis neoliberal
ini. Kegagalan mekanisme ekonomi akan berujung pada kehancuran suatu Negara.
Penderitaan Global adalah Metafora
Pandemik Covid-19 membuat
ekonomi global menjadi tidak jelas. Tak mengherankan apabila beberapa kalangan
menyebut krisis ekonomi akibat pandemik Covid-19 ini secara beraneka ragam.
Sejak awal penyebaran pandemik ini, sejumlah ekonom menyebut krisis ini sebagai
kejutan yang menimbulkan ketidakjelasan agenda ekonomi-politik Negara.
Untuk mencegah semakin
banyaknya korban Covid-19 dan resesi ekonomi, beberapa Negara telah menetapkan
kebijakan Normal Baru di negaranya, tidak terkecuali Indonesia. Kebijakan
Normal Baru tidak benar-benar menyelamatkan manusia dan memulihkan
ekonomi-politik Negara dari kebobrokan dan resesi ekonomi selama pandemik
Covid-19 berlangsung. Kebijakan Normal Baru justru mempercepat gerakan
ekspansif-eksploitatif kaum kapitalis, dan memperhimpit pergerakan ekonomi
masyarakat kelas bawah.
Di Indonesia dominasi sektor
perekonomian informal masih sangat besar. Saya berpendapat bahwa seluruh
masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah sedang mengalami kerugian paling
besar bahkan mati kelaparan. Kebijakan moneter pada era Normal Baru—seperti
alat rapid test, ia hanya
mendiagnosis pasien terpapar pandemik Covid-19 atau tidak—tetapi ia tidak
pernah memulihkan resesi ekonomi dan/atau mengurangai penularan pandemik ini.
Era Normal Baru, alih-alih
membuka kesempatan demi pemulihan perekonomian dan mencegah penyebaran
gelombang pandemik, ternyata ia menjadi ladang baru bagi kaum bermodal
memperluas ekspansi eksploitasi perekonomian, menggalak ekonomi neoliberalisme,
dan membeli penderitaan bangsa dengan ramai-ramai melepas portofolionya di emerging market. Kemudian mereka
memantik selera masyaraktat pembeli-konsumen dengan slogan diskon.
Ledakan penularan pandemik
Covid-19 pasca diterapkan Normal Baru melonjak tinggi dan lebih parah daripada
sebelumnya. Kaum kapitalis membaca peluang emas ini; mengembalikan kekuasan
pasar (privatisasi), globalisasi ekonomi dengan membebaskan laju gerak pasar, dan
mengurung kekuatan-kekuatan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Masyarakat warga harus
berani berjibaku menghadapi guncangan penyebaran pandemik Covid-19 yang lebih
besar.
Di tengah situasi pelik ini,
semua agenda politik Presiden Jokowi; pembangunan infrastruktur, membuka
destinasi wisata baru di wilayah-wilayah tertentu, dan lain-lain mesti
dikesampingkan. Setiap agenda politik ekonomi mesti dikaji berkali-kali, sebab
Negara harus menangani guncangan pandemik Covid-19 ini, terutama mewaspadai
kebangkitan dan menggguritanya hegemoni neoliberalisme.
Pandemik Covid-19 sebagai
penderitaan nasional bisa jadi hanya metafora belaka, jika kaum kapitalis global
mempropagandakan ekonomi pasar bebas di tengah penderitaan global ini. Mereka
menggunakan term penderitaan nasional sebagai bingkisan yang menarik untuk
menawarkan dan menggalakkan sistem pasar bebas tanpa kendali.
Ekonomi suatu Negara akan
hancur, jika diterkam oleh cengkeraman kaum oligark, dan kaum kapitalis yang
berbasis ekonomi neoliberalisme, di samping praktik korupsi, nepotisme dan
kolusi yang kian membandel dan menggurita.
Artikel
ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 7 Juli 2020
[1] Dr. Alex Jebadu, Politik Ekonomi Pasar Bebas. Neoliberalisme sebagai
Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba (m.s). hlm. 209. Lihat juga, Aleksander
Jebadu, Drakula Abad-21. Membongkar
Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir
Berhukum Rimba & Ancamannya
Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2020).
[2] Ibid.,
[3] Pengoperasian misi ekonomi
rahasia dari Milton Friedman in didukung oleh CIA dan TNCs Amerika supaya
menggalakkan ekonomi neoliberal di Chili pada tahun 1970-an yaitu dengan
menggulingkan pemerintahan sosialis demokrat dari Salvador Allende dan menggantikannya
dengan pemerintahan diktator militer dari Agosto Pinochet. Ibid., hlm. 175-180.
[4] Sekolah Ekonomi Berkley di
California merancang secara sistematis ekonomi masa depan Indonesia sewaktu
Soekarno tidak ramah dengan rekolonisasi ekonomi Barat, yang tidak berkuasa
lagi pada tahun 1960-an. Ibid., hlm.
175-180. Lihat juga hlm. 211.
[5] Ibid., hlm. 211.
[6] Eric
Toussaint dan Damien Millet, Mafia Bank
Dunia & IMF. Alat Penjajahan Baru negara Industri Terhadap Negara
Berkembang Sejak Akhir Perang Dunia II, Penerj. Aleksander Jebadu. (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2019), hlm. vi-xvii. Pada pengantar penerjemah, Aleksander Jebadu
mengulas secara singkat namun padat terkait dengan geliat ekonomi global yang
tidak adil sejak akhir Perang Dunia II, yang ditandai dengan didirikannya IMF
dan Bank Duni pada 1944. Lihat juga Aleksander Jebadu, Bahtera Terancam Karam. Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik yang
Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Maumere: Penerbit
Ledalero, Cetakan kedua, 2019). Lihat juga Alex Jebadu Ekonomi Pasar Bebas. Neoliberalisme sebagai Kapitalisme Mutakhir
Berhukum Rimba (m.s), yang sudah diterbitkan berjudul, Drakula Abad-21. Membongkar Kejahatan Sistem Ekonomi Pasar Bebas tanpa
Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba dan Ancamannya Terhadap
Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020).
[7] Eric Toussaint dan Damien
Millet, Mafia Bank Dunia & IMF. Alat
Penjajahan Baru negara Industri Terhadap Negara Berkembang Sejak Akhir Perang
Dunia II, Penerj. Aleksander Jebadu.
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), Ibid., hlm. xi.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 7 Juli 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Normal Baru, Neoliberalisme dan Penderitaan Global"