Mewaspadai Kebangkitan Populisme Pasca-Pandemi Covid–19
Pandemi Covid-19 sedang memperbarui sejarah umat manusia. Ia menyerang siapa saja; melampaui batas
demografis, sistem kepercayaan, agama, sistem politik, hukum ekonomi, dan
laboratorium kesehatan.
Kompas.
com (22/6/2020) merilis jumlah pasien terinfeksi Pandemi Covid-19 di dunia ialah
9.06.357 kasus. Selama kurang dari 24 jam ada penambahan 129 ribu kasus. Sebab
sebelumnya (21/06/2020) jumlah kasus terkonfirmasi ialah 8.938.290 kasus. Dari 9.06.357
kasus, ada 19.471.022 pasien meninggal dunia dan 4.850.425 orang dinyatakan
sembuh. Pandemik Covid-19 barangkali tidak berakhir. Akan tetapi, ada ketakutan
tersendiri pasca pandemik ini berakhir yaitu bangkitnya populisme.
Dewasa ini, selain pandemik Covid-19, dunia juga sedang dilanda hantu
populisme. Populisme menjadi tren politik global. Pada dasarnya gerakan
populisme sangat bervariasi. Secara sederhana ada populisme kiri, populisme
kanan, populisme tengah, populisme konservatif dan populisme progresif.
Pupulisme di Indonesia
Fenomena-fenomena politik pada beberapa negara dapat menunjukkan bahwa politik
populisme sedang menghantui dunia. Ada Trumpisme di Amerika Serikat, Brexit di
Inggris, Syriza di Yunani, dan Podemos di Spanyol. Slogan-slogan gerakan
populisme ini dapat menginspirasi partai politik dan atau gerakan kelompok
agama tertentu dalam merebut simpati dan suara rakyat. Di Indonesia sendiri,
Aksi Bela Islam 212 yang berjilid-jilid beberapa tahun lalu merupakan salah
satu respons terhadap gerakan populisme tersebut.
Ada dua aspek pokok yang patut dikemukakan di sini dalam menjelaskan
fenomena populisme kanan kontemporer baik di tingkat lokal maupun global.[1] Pertama, kondisi kelas pekerja yang
semakin terfragmentasi sebagai produk rezim pasar kerja fleksibel sejak tahun
1980-an. Kondisi ini mempersiapkan dasar kehidupan sosial-politik populisme di
wilayah tertentu. A. M. Mudhoffir menjelaskan, di Eropa kebijakan
neoliberalisme sekaligus menandai kebangkrutan negara kesejahteraan akibat
lemahnya organisasi pekerja maupun Partai Kiri dan berkurangnya aneka layanan
sosial negara. Neoliberalisme juga memperluas situasi anomie serta berbagai
bentuk kecemasan sosial-ekonomi akibat meningkatnya ketidakpastian kerja, tidak
hanya dialami kelas bawah tetapi juga kelas menengah terdidik.
Di Indonesia sendiri, jelas Mudhoffir, kelas menengah produk
industrialisasi Orde Baru memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
generasi sebelumnya. Akan tetapi hal ini tidak membuat kondisi ekonomi menjadi
lebih baik. Kondisi ekonomi senantiasa berada dalam ketidakpastian masa depan
pekerjaan. Berbagai kerentanan yang dihadapi ini melahirkan kecemasan, termasuk
dalam kaitannya dengan kemungkinan melakukan mobilitas sosial.
Populisme merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan
demokrasi di Indonesia. Hal ini didasarkan pada klaim sepihak populisme sebagai
satu-satunya yang total mewakili rakyat. Kaum populis tidak memerlukan
perantara, delegasi, penerjemah, atau mediator apapun. Dalam hal ini, populisme
telah secara signifikan memperluas kecurigaan terhadap segala sesuatu yang
bukan bagian dari realitas yang mereka sendiri rasakan. Kaum populis berusaha
mempropagandakan gerakan-gerakan strategis untuk mengatasi kesenjangan sosial,
mengkudeta sistem yang sudah mapan, dan menggalakkan politik radikal.
Kaum populis hendak berbicara atas nama rakyat yang dibisukan oleh oligark
dalam memperjuangkan kebebasan rakyat. Mereka sadar akan keberadaannya, tetapi
sekaligus mereka terbelenggu dalam kompetensi yang mengasingkan dan
mempersempitkan pada kompetensi yang melibatkan diri mereka sendiri. Sindhunata[2] mengutip
sosiolog Perancis, Daniel Bensaid, mengatakan bahwa populisme demikian
menyandang penyakit individualisme yang otoriter. Mereka gelisah karena tidak
mempunyai jaminan akan kepastian kehidupan ekonomi-politik.
Menurut Otto Gusti,[3]
populisme adalah kritikan atas sistem demokrasi representatif yang gagal
menciptakan keadilan sosial dan menjadi penyambung lidah rakyat yang
diwakilinya. Populisme dan gerakan politik merupakan dua dinamika kekuatan yang
saling merebut kekuasaan dengan motifnya masing-masing. Percaturan kekuasaan
menjadi alasan lahirnya populisme. Dalam konteks demokrasi modern, kaum populis
dengan ketidakpercayaannya menolak segala bentuk permusyawaratan atau
representasi dalam demokrasi. Ketidakpercayaan itu menjadi motivasi gerakan
politik populisme. Hal ini persis terjadi dalam politik Indonesia, justru ketika
demokrasi dicengekeram oleh oligarki.
Kekuatan oligarki di Indonesia dapat dibaca dari sejumlah data yang menunjukkan
bahwa penguasaan aset oleh 40 orang terkaya
di Indonesia melampaui 580.000 kali lebih besar dari pendapatan per
kapita.[4]
Otto Gusti menjelaskan angka ini tentu menunjukkan ketimpangan yang luar biasa
antara segelintir kecil yang sangat kaya dan rakyat kebanyakan yang miskin.
Ketimpangan ini menimbulkan persoalan yang pelik dalam fenomena sosial dan
politik, seperti politik identitas, dan mengguritanya gerakan populisme di
Indonesia. Di lain sisi, aliansi oligarki yang berhasil mereorganisasi diri
dalam sistem demokrasi menempatkan penguasaan borjuasi domestik Cina yang sudah
ada sejak Orde Baru semakin mapan menguasai dan mengendalikan kontestasi elektoral
di tanah air.
Hal ini tentu mengakibatkan partai-partai politik dan para politikus
yang tidak memiliki relasi sosial yang luas dan modal yang kuat akan bergantung
dan bercokol pada bangunan aliansi dengan para pengusaha predatoris itu. Dalam
konteks ini, politisasi identitas menjadi jalan singkat yang dapat digunakan
untuk memobilisasi suara rakyat, di samping politik uang dan represi.
Populisme Bangkit?
Di tengah mewabahnya pandemik ini, pemerintah mengalami kesusahan
menyusun agenda politik yang progresif. Kebijakan “Normal baru” masih dalam
pengawasan dan pengontrolan ketat; jangan-jangan “normal baru” tidak
mendatangkan kemajuan ekonomi-politik negara, tetai justru meningkatkan jumlah
pasien terinfeksi, dan dengan demikian memperburuk laju perkembangan
ekonomi-politik negara. Kekhawatiran akan menguatnya praktik populisme kanan di
Indonesia dan juga diekspresikan di beberapa daerah akan membuka jalan bagi
pemerintah untuk berlaku lebih keras menangkal arus politik identitas atas nama
keutuhan NKRI. Partai-partai sekuler seperti PDI-P dan Golkar bermain dengan
isu-isu agama, dan bahkan pada tingkat lokal tak jarang mendukung peraturah
daerah (Perda) Syarah.[5]
Narasi Islam toleran yang dipropaganda oleh gerakan Aksi Bela Islam 212 dan
ormas-ormas lain atas nama agama dan ditunggangi oleh identitas agama tertentu,
alih-alih merekognisi perbedaan politik, ternyata melanggengkan praktik
politisasi identitas dan instrumentalisasi kelompok predatoris. Akan bangkitnya
populisme kanan di Indonesia dimungkinkan karena ketiadaan agenda politik yang
progresif.
Ketiadaan agenda politik memberi peluang kepada kaum populis untuk
mengartikulasikan berbagai ketidakpuasan rakyat sebagai suatu keadaan yang
disebabkan oleh kehadiran kelompok oligark yang serakah. Oligarki di Indonesia mempertahankan
kekuasaannya dengan cara membajak semua institusi demokrasi seperti partai
politik, parlemen, dan proses pemilihan umum.[6]Akan
tetapi, gerakan populisme kanan tentu saja tidak mungkin bisa dipropagandakan
tanpa adanya basis sosial kelompok kaum kapital dan atau penguasa predatoris yang
menemukan para oligark pada berbagai bentuk subjek politik yang berbeda-beda
sebagai jawaban atas perlbagai kehendak mereka untuk berkuasa pada kontestasi
politik. Di sini, populisme kanan hanya melayani kepentingan para elite
oligarki dan memperlemah perlwanan dan daya kritis masyarakat sipil guna
membangun demokrasi Indonesia yang inklusif dan menciptakan kesejahteraan bagi
semua.[7] Politik
populisme tidak pernah menjadi agenda politik transformatif, tetapi menjadi
bola permainan di tangan para oligark.[8]
Di tengah pandemik ini, ketika seluruh rakyat Indonesia lebih
mengkhawatirkan kesehatan dan pekerjaannya masing-masing daripada
masalah-masalah politk, bukan tidak mungkin politik populisme bangkit. Namun,
apabila pemerintah masih belum menginstitusionalisasikan ide-ide populis dalam
demokratis baru yang terlepas dan bebas dari cengkeraman partai-partai politik
oligarkis warisan Orde Baru, maka populisme tetap gagal menjadi kekuatan
antagonistik dan emansipatoris terhadap demokrasi yang terkooptasi kekuatan
oligarkis.[9]
Sementara itu politisasi identitas menjadi jalan singkat yang dapat
digunakan untuk memobilisasi suara rakyat, di samping politik uang dan represi pasca
pandemik Cocid-19 bukan tidak mungkin dilakukan.
Apakah politik populisme benar-benar berbicara atas nama rakyat, atau justru jatuh dalam perangkap kaum kapital dan oligark—masih belum jelas?
[1] A. M. Mudhoffir, “Aliansi
Populis Islam yang Terfragmentasi”, dalam
Indoprogress.Com https://indoprogress.com/2018/01/aliansi-populis-islam-yang-terfragmentasi/, diakses pada 14 Mei 2020.
[2] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional. Teori Kritis Sekolah Frankfurt Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 2019), hlm. 272.
[3] Dr. Otto
Gusti, SVD, “Populisme dan Krisis Demokrasi” dalam Vox Ledalero, Seri 63/02/2018, hlm.26, Lihat juga Otto Gusti
Madung, “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme”. Jurnal Ledalero, 11: 7 (Ledalero, Juni 2018), hlm. 58-76. Lihat
juga Otto Gusti Madung “Populisme, Demokrasi Disensus dan Relevansi untuk
Indonesia” dalam Mathias Daven dan Georg Kirchberger. (ed.) Hidup-Sebuah
Pertanyaan (Penerbit Ledalero, 2019) hlm. 142-163.
[4] Otto Gusti Madung “Populisme,
Demokrasi Disensus dan Relevansi untuk Indonesia” Ibid., hlm. 154.
[5] Ibid., hlm. 160.
[6] Ibid., hlm. 157.
[7] Ibid., hlm. 161.
[8]
Ibid.,
hlm. 157.
[9] Ibid., hlm. 162.
*Artikel ini pernah terbit di NTT Progresif edisi 26 Juni 2020. Diterbitkan di sini untuk kepentingan pendidikan.
Post a Comment for "Mewaspadai Kebangkitan Populisme Pasca-Pandemi Covid–19"