Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kedisiplinan: Kewajiban Moral?


Melki Deni

Pada dasarnya setiap individu selaku pribadi terlahir mandiri dan dengan kebebasan. Kebebasan individu selalu mengandaikan kebebasan individu-individu lain. Kebebasan individu pada dirinya sendiri punya dimensi sosial. Artinya kebebasan individu berdasar pada kenyataan bahwa individu sebagai makhluk sosial, tidak bisa dapat berdiri sendiri tanpa pengakuan dari orang lain.

Pengakuan dari orang lain penting, agar individu tidak terjerumus dalam “kebebasan semu”. Pengakuan dari orang lain juga mengandung makna aturan hukum “yang mengatur, yang mengendalikan dan yang mengontrol” kebebasan individu tersebut. Dalam skala yang lebih kecil aturan hukum dapat ditemukan dalam aturan disiplin. Akan tetapi, karakteristik disiplin bersifat mengekang, membatasi, dan menyiksa kebebasan individu tersebut. Namun demikian, apakah disiplin mengurangi kebebasan individu?

Sebelum hukum negara dibentuk, setiap individu membela dan mengklaim kebebasannya lebih tinggi dari kebebasan individu yang lain. Pada saat itu, setiap individu bebas untuk melakukan tindakan kriminal; bebas untuk mengorupsi; bebas untuk menjajah; bebas untuk melakukan praktik perbudakan; bebas menjual sesama manusia; bebas memfitnah; bebas untuk melakukan aksi-aksi yang merugikan warga negara lainnya dan pelbagai kebebasan yang tidak terkendalikan lainnya. Di sini, kebebasan tidak selalu bermakna atau berkonotasi positif. 

Ketika setiap individu menuntut dan mengklaim kebebasannya maka akan terjadi perang menuntut kebebasan, yang mana individu yang satu mengorbankan individu yang lainnya. Manusia serentak menjadi serigala bagi sesamanya, demikian kata Jean Jacques Rousseau. Itulah sebabnya mengapa kebebasan tanpa “hukum” akan berujung pada kaos atau berantakan, karena tidak diatur, dikendalikan dan dikontrol oleh sistem atau peraturan normatif.

Mengutip Isaiah Berlin, Wattimena  menjelaskan bahwa dalam filsafat, kebebasan memiliki dua arti, yakni “kebebasan dari” dan "Kebebasan untuk". "Kebebasan dari" tampak dalam, misalnya bebas dari bahaya, bebas dari ancaman dan bebas dari ketidakadilan. Sedangkan “kebebasan untuk”, yakni bebas untuk berpikir, bebas untuk berpendapat, bebas untuk beragama dan sebagainya. Dua jenis kebebasan ini, menurut Wattimena, saling melengkapi, karena ia merupakan satu kesatuan (Reza A.A Wattimena, "Baras-batas Kebebasan", dalam Rumah Filsafat https://rumahfilsafat.com/2021/10/06/batas-batas-kebebasan/ diakses pada Selasa 12 Oktober 2021).

Wattimena mengemukakan tiga ancaman terbesar bagi dua kebebasan pada abad ke-21 ini. Wattimena menyebut yang pertama dari kelompok radikalis agama yang ingin memaksakan agama mereka secara kasar. Kedua, para pebisnis besar yang rakus, dan menindas hak-hak warga. Dan ketiga, pemimpin politik korup yang menipu, mencuri, memperbodoh dan mempermiskin rakyat, tanpa henti.

Menurut Wattimena, "sikap egois buta tampak dari tiga kelompok tersebut. Mereka ingin bebas. Namun, mereka menindas kebebasan orang lain. Mereka untung di atas kerugian banyak orang."

 Yuval Noah Harari, dalam Homo Deus. A Brief History of Tomorrow menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, angkatan perang yang disiplin dengan mudah menghabisi gerombolan-gerombolan tak terorganisasi, dan elite-elite yang bersatu mampu mendominasi massa yang tidak teratur. 

Harari mengambil contoh pada 1914, 3 juta bangsawan, pejabat dan pebisnis Rusia dapat berkuasa atas 180 juta petani dan buruh. 3 juta bangsawan, pejabat dan pebisnis tahu bekerja sama dan disiplin dalam membela kepentingan bersama, sedangkan 180 juta petani dan buruh tidak mampu bekerja sama dan disiplin dalam meraih cita-cita mereka. Sebaliknya, pada tahun 1917, ketika kelas atas dan kelas menengah Rusia hanya berjumlah sekitar 3 juta orang, sedangkan Partai Komunis hanya memiliki 23.000 anggota. Meskipun demikian, anggota Partai Komunis itu berhasil merebut kekuasaan dari Imperium Rusia yang besar, karena mereka disiplin dan terorganisasi dengan baik, terlepas dari tujuannya baik atau buruk.

Kebebasan setiap individu pasti ada, dan berpotensi mewujudkannya, tetapi kebebasan individu tersebut “diatur, diseragamkan dan dikendalikan” di bawah kebebasan sejati universal. Kebebasan universal ini dipandang sebagai kewajiban moral yang wajib ditaati oleh setiap individu. Dengan demikian, kebebasan individu tetap ada, dan bergiat di bawah kebebasan universal sebagai kewajiban moral.

Apakah kedisiplinan akan membahayakan kebebasan individu? Menurut hemat saya, tidak. Seperti sudah dijelaskan bahwa kedisiplinan merupakan ekspresi kebebasan sejati universal atau kewajiban moral seseorang. Kewajiban moral mengatur potensi kebebasan individu dan kecenderungan-kecenderungannya, sehingga keadaan “kaos atau berantakan” dapat dihindari dan dikontrol. Akan tetapi perlu dipahami kedisiplinan tidak melulu soal ketaatan, kepatuhan atau ketepatan waktu, tetapi juga spirit keterlibatan/kehadiran, kesadaran diri yang penuh, partisipasi aktif, kreasi dan produktif. 

Kewajiban moral menyerupai aturan hukum negara yang bersifat mengatur ruang gerak dan kebebasan setiap individu, dibentuk agar setiap individu tidak secara sembrono mementingkan diri sendiri; agar setiap individu dapat saling menghargai martabat dan harkat satu sama lain; saling membuka ruang hidup dan ruang gerak bagi sesama; dan terutama melakukan sesuatu berdasarkan kewajiban moral.

Kewajiban ini tidak semata-mata atas kesewenang-wenangan, akan tetapi kewajiban yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan lebih dahulu dan tidak mengandung paksaan dari luar diri individu. Kewajiban ini lahir dari kesadaran yang paling hakiki dari seorang individu agar ia selalu memihak dan mengutamakan yang baik dan yang benar, dan berusaha menghindar yang buruk dan yang salah.

Disiplin sebagai kewajiban moral yang lahir dari kesadaran yang paling hakiki seorang individu mesti berdampak nyata dalam tindakannya. Tindakan disiplin itu bersifat aksiologis, yaitu tindakan individu yang dinilai berdasarkan baik atau buruknya tindakan tersebut. Dengan demikian, disiplin sebagai sebagai kewajiban moral dapat menjadi pengendali, pengatur dan pengontrol kebebasan individu dan kecenderungan-kecenderungan individualnya.


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT.

Post a Comment for " Kedisiplinan: Kewajiban Moral?"