Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seperti Usia, Puisi itu Mahal?

Melki Deni
 

Siapa yang mau tua? Dunia tak pernah dan takkan mau tua. Begitulah kerinduan kekal manusia di dunia betapa pun ia sangat bahagia serentak menderita dalam hidupnya. Demikian pun saya tak pernah mau tua.

Aku tak akan tua, mengantar saya kembali ke pengalaman sebelum detik ini. Saya tak akan tua. Sejak seminari menengah sampai detik ini, saya hanya berminat membaca, berbicara, berdiskusi dan menulis. Kegiatan-kegiatan yang lain memang selalu dinomorduakan. Saya anggap berdosa besar, jika sehari saja tanpa membaca sekalimat pun tentang apa saja.

Seperti usia tua, puisi itu mahal. Seperti hidup, puisi tidak pantas dijualbelikan. Seperti nafas, puisi menghirup kesan, dan mengembus pesan-pesan murni. Itulah sebabnya saya suka akan puisi Goenawan Mohamad berjudul Aku Tak Akan Tua.

Aku Tak Akan Tua[1]

 

Aku tak akan tua

dengan tujuh kwatrin

Mungkin di ujung

ada patah kata lain

Aku tak akan

jalan ke arahmu

Aku mungkin

jalan ke arahmu

Jangan

kau tunggu

Di utara itu.

2016

 

Sebelum tidur malam, saya harus mengevaluasi diri, berefleksi dan merancang kegiatan-kegiatan selanjutnya. Jika saya menemukan inspirasi, saya langsung menulis hal itu tanpa tunda. Inspirasi mesti berangkat dari dan berkaitan erat dengan pengalaman nyata masyarakat dunia pada umumnya. Namun tidak jarang imajinasi hadir dengan sendirinya dan seakan mendesak saya menulis itu.

Sastra menjadi bakat yang amat saya cintai dan susah diabaikan. Saya sepakat dengan Yuval Noah Harari bahwa dunia dan realitas perubahan dan perkembangannya tidak lebih dari imajinasi yang direalisasikan. Saya tidak bisa membayangkan, memikirkan dan memahami dunia tanpa imajinasi. Akan tetapi tidak juga bijaksana bila terus-terusan bermain dengan imajinasi. Sebab imajinasi liar atau berlebihan selalu mengkhianati realitas dunia kehidupan.

Saya sangat suka bermain dengan sajak, puisi, prosa, cerpen, dan novel. Sedari mengenal Goenawan Mohamad, saya jatuh cinta pada puisi, serentak saya sangat mengharapkan agar Tuhan tidak segera menuakan saya. Saya mau menjadi penyair dan penulis terhebat sebelum tua. Memang tua itu adalah tua bila umur mempercepat roda kehidupan, atau menjadi tua meskipun usia masih muda. Tapi saya tidak suka dua-duanya.

Ketika membaca puisi Aku tak akan Tua ini, saya seakan-akan sedang didukung agar terus me-muda-kan diri. Tua itu menderita, dan muda selalu berbahagia. Di sini saya tidak sedang mempersoalkan perkembangan biologis manusia. Semua orang pasti tua secara biologis, tetapi belum tentu dengan situasi dan kondisi batin, psikologis dan kecakapan intelektualnya. Disposisi batin, keutamaan psikologis dan kelincaan intelektual membuat manusia kelihatan masih muda, bila ia tekun merawat dan mengawetkannya.

Goenawan Mohamad sangat memahami kerinduan tertinggi manusia, “tak akan mau tua”. Tak seorang pun manusia mau tua. Manusia sungguh tahu bahwa jika ia sudah tua, ia tak lagi muda dan/atau memudakan diri. Jika ia sudah tua, ia takkan bisa mengembara lagi dan menjumpai pengembara-pengembara dari dunia lain. Jika ia sudah tua, ia takkan bisa keluar jauh dari rumah dan kursi roda menjadi kekasihnya.

Jika manusia sudah tua, ia hanya berdoa dan berdoa agar penziarahannya tak lekas selesai. Jika ia sudah tua, ia takkan bisa menoleh-noleh, dan menggelengkan kepala. Jika ia sudah tua, ia hanya berkata-kata banyak kepada anak pianak, dan memuji masa lalunya. Jika ia sudah tua, ia tak ada gunanya lagi. Jika ia sudah tua, ia sedang berdiri di ambang batas dan sebentar lagi menikmati kesepian yang ngeri di balik kedinginan tembok kubur. Lagi, siapa yang mau tua?

Manusia sibuk belajar, bekerja, dan berdoa agar dia tak lekas tua. Manusia mengembara dan menjelejahi dunia dan bahkan sampai di bulan agar ia tak cepat tua. Manusia berolahraga, senam, menari, yoga, bermeditasi, dan berkontemplasi agar ia dapat memperlambat pe-nua-annya. Manusia menolong, membagi, memberi, dan meminta kepada sesama agar ia mengawetkan ke-muda-annya.

Manusia melukis, menggambar, memfoto, merekam audio, dan membuat video agar pe-nua-annya tertunda. Manusia menasihati, menginspirasi, mendidik, membina, dan memotivasi sesama agar ia tetap muda. Manusia berkelahi, memarahi, bermusuhan, bergosip, dan berperang agar ia namanya tak mudah tua. manusia meledakan bom dunuh diri, bunuh diri, aborsi, pembuangan bayi, seks bebas, kawin kontrak, bayi tabung, penciptaan robot, dan pembuatan matahari ala Jepang agar ia bisa bertahan dalam ke-muda-annya.

Manusia korupsi, kolusi, nepotisme dan penggelapan dana negara, agar ia tak kelihatan tua. Manusia membaca, meneliti, merenung, berdiskusi, berdebat, berdialog dan menulis agar ia tak sampai tua. Semua usaha dan karya manusia di dunia ini bermaksud agar ia tak boleh tua. Jadi, tua itu sepia.

Mungkin di ujung ada patah kata lain ialah sebuah pengharapan terdalam dan mendalam manusia agar suatu saat nanti ada orang yang mengisahkan riwayat atau sebagain sikap hidupnya di dunia ini. Semua orang mau dikisahkan (bukan gosip) oleh orang lain, apalagi sampai berabad-abad seperti Plato, Aristoteles, William Shakespeare, Mozart, KhaliL Gibran dan lin-lain. Buktinya jika nama kita disebutkan dan diceritakan oleh seseorang di depan podium, tentu kita sangat bahagia, bahkan air mata mengalir. Kita berasa sangat diterima di dunia ini. Manusia mau abadi, karena itu dia selalu berusaha membunuh waktu.

Aku tak akan jalan ke arahmu menjelaskan bahwa manusia ialah makhluk yang egois. Seringkali ketika manusia dikisahkan oleh orang lain, ia segera memuji diri dan menjadikan diri sebagai sentripetal dari masyarakat di dunia ini. Manusia memeras dan menggerus hidup orang lain. Manusia mewartakan kehebatan diri dan menyangkal keberadaan orang lain. Manusia membatasi pergerakan dan hak hidup orang lain. Manusia menjual murah sesamanya. Manusia memperkosa, merampok, mencuri dan membegal sesamanya.

Manusia membela Tuhannya dan membunuh Tuhan dari sesamanya. Manusia membunuh demi nama Allahnya. Manusia membangun jaringan-jaringan terror untuk melenyapkan sesamanya. Manusia menendang dan mengusir orangtuanya dan sanak saudaranya. Manusia tak akan ikut jalan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kekeluargaan keadilan, kebenaran, kebajikan, dan kebijaksanaan. Ia jalan ke arahnya sendiri, yaitu ke kemapanan dan keegoisan diri.

Aku mungkin jalan ke arahmu. Boleh jadi manusia menuruti tuntutan-tuntuan kehidupan bersama dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara dengan paksaan, karena keegoisan diri terlalu masak. Mungkin situasi di sekitar seakan memaksa dia untuk menjalankan hak dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari yang lain. Bisa jadi ia mesti berani munafik agar ia dinilai baik dan patut diteladani oleh orang lain. Itulah manusia seringkali menipu diri, sesama dan Tuhannya. Manusia itu makhluk dilema; antara jujur diri tidak jujur atau tidak jujur bahwa dia jujur. Ya, manusia ada-ada saja.

Jangan kau tunggu di utara itu. Manusia sudah terlalu mapan dengan keegoisan, kemunafikan dan kerapuhan dirinya, sehingga ia meminta yang lain (bisa juga Tuhan) agar tidak usah tunggu kesadarannya. Mungkin ia tidak bisa sadar lagi. Ia meminta agar orang lain (boleh juga Tuhan) agar tidak usaha menuggunya, karena ia sedang me-muda-kan kejahatan, kemunafikan dan keserakahannya. Ia tidak perlu ditunggu lagi, karena ia sudah mendirikan istana bagi dirinya, dan mengukuhkan bahasa pembelaan diri. Sekali lagi sesungguhnya manusia tak akan mau tua.

Berdasarkan rekleksi atas puisi di atas, saya kembali bertanya; siapa yang mau tua? Manusia takkan mau tua, buku-buku pun tak mau tua atau dituakan. Saya pun takkan pernah mau tua. Saya mau diawetkan oleh dunia ini dengan sikap hidup dan tulisan-tulisan saya. Saya mau membaca dan menulis banyak hal tentang dunia ini. Dengan membaca saya menulis. Dengan menulis saya membaca. Dengan membaca saya, dunia menulis, dan dengan menulis saya, dunia membaca. Jika dunia membaca dan menulis saya, dunia sedang mengekalkan kelampauan, kekinian, dan kenantian saya.

Aku tak akan tua: mengekalkan dualisme diri saya; buruk-baik, pahit-manis, cerdas-tolol, jujur-bohong, tulus-munafik, ikhlas-tipu, bertuhan-berhantu, bisa-basi, paham-hampa, dan lain-lain. Siapa yang tak mau tua? Saya dan puisi dalam diri saya. Seperti usia tua, puisi itu mahal. Seperti hidup, puisi tidak pantas dijualbelikan. Seperti nafas, puisi menghirup kesan, dan mengembus pesan-pesan murni.

 



[1] Goenawan Mohamad, Fragmen. Sajak-Sajak Baru ( Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 54.

1 comment for " Seperti Usia, Puisi itu Mahal? "

  1. Mantap kawanku! Saya mau menjadi penyair dan penulis terhebat sebelum tua. Tetap terbaik.

    ReplyDelete