SUNGAI dan Puisi lainnya
Akulah si sungai itu. Biarlah perahu kertasmu berlayar di atasnya
di pelataran rumah ia duduk dan melemparkan benih
cintanya ke rumah tetangga. Cinta melayang di udara, sambil menghitung jarak,
waktu, arah, garis dan sasarannya. Tiba-tiba cinta tersangkut di pagar.
Cinta tak mau kembali tanpa menangkap apa-apa, tanpa berdialog
dengan anak tetangga, tanpa melihat hati anak tetangga bekerja.
Barangkali hati anak tetangga itu sudah dicolong oleh anak tetangga yang lain, batinnya. Lalu datanglah kepompong hinggap di benih cinta itu, menutupi telinganya. Cinta pun sedikit tuli.
Cinta melihat sekeliling; tembok pagar berlumut basah, orang-orang sibuk 24 jam, sampah kata-kata yang dibuang begitu saja, daun-daun kering, bekas jalan tikus, dan air mata yang mengandung racun mengalir bebas di batas pagar.
Soalnya bukan cinta yang tersangkut, malah telantar. Melainkan pagar. Itulah sebabnya dia yang melemparrkan cinta dan anak tetangga tidak mengenal cinta sungguh-sungguh.
Kepompong pergi, dia yang melemparkan benih cinta menanti tiada selesai, anak tetangga pun sudah pergi. Dan cinta tak merana, dan sehat dalam dirinya sendiri.
Di batas pagar cinta hidup dan abadi.
Maumere, 04 Agustus 2020
Post a Comment for "SUNGAI dan Puisi lainnya"