Harap Tenang dan Puisi lainnya
Pixabay.com |
Sehabis Bangun
Sehabis bangun pagi ini,
Kutemukan lagi wajahmu terpahat di antara gemulai mata dan soneta
setelah menemaniku selama di dunia seberang.
Ketika bayang-bayang matahari memberikan warna,
mengusir sisa-sisa malam; Aubade pun berhenti dinyanyikan.
Doaku pun terhenti, seketika engkau mengingatkan bahwa pagi adalah kemerdekaan, di mana kita keluar dari tubir-tubir kegelapan.
Ketika aku berjalan keluar dari kamar,
engkau bertanya, “masih ingat Tuhan?”
Barangkali engkau menduga aku lupa Tuhan, batinku.
“Dia tidak pernah menduga begitu!” cegat-Nya.
Harap Tenang
Hari-hari ini warta berita media sosial
sibuk mengusik kita untuk melontarkan tanda tanya berkali-kali.
Kita pun risau.
Mural-mural tidak pernah diam berseru:
Setelah Orde Baru, terbitlah reformasi;
Setelah reformasi birokrasi, terbitlah deformasi;
Harap tenang, investor sedang membeli dan membajak tanah air;
Harap tenang, koruptor sedang menyumbat mulut kita dan mereka yang duduk berpangku tangan di balik kantor megah itu;
Harap tenang, perempuan dan anak-anak sedang diperdagangkan dan dieksploitasi;
Harap tenang, profesor sedang dibobol dan dikontrol;
Harap tenang, para pemeluk agama menjual Tuhan;
Harap tenang, wartawan/wartawati diselundupkan ke ruang abstrak;
Harap tenang, buku-buku Marxisme (kiri?) diberedel;
Harap tenang, kritikus dijuluki apatis dan komunis;
Harap tenang, kita tidak lagi tenang.
*Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT suka sastra dan Filsafat Ruang.
Post a Comment for "Harap Tenang dan Puisi lainnya"