Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengakuan dan Kebebasan

Melki Deni

Semua orang menghendaki agar diakui (mendapatkan pengakuan) oleh dan dari orang lain. Pengakuan adalah kerinduan yang meniatkan balas tanpa paksaan, komunikatif, dialogal dan intersubjektif kesalingan tiada akhir lagi tanpa jarak dan identitas. Aku mengakui kamu, yang aku tahu kamu (bukan juga) akan mengakui aku tanpa paksaan dan/atau tuntutan. 

Pengakuan mengandaikan cinta, solid dan total dalam lingkaran penuh. Pengakuan memperlihatkan kondisi asali "ada bersama" yang lain dalam keberlainan. Kondisi "ada bersama" mereproduksi kebersatuan asali, yakni "kekitaan". Kekitaan tidak berarti mengambil jarak kontraproduktif dengan "mereka". Kekitaan merupakan bagian terkecil dan tak terpisahkan dari mereka. 

Pengakuan tidak boleh cacat—guna meloloskan kepentingan, keinginan, motivasi dan kebutuhan, misalnya. Jika pengakuan ditunggangi oleh kepentingan diri (bukan intersubjektif dialogal), ia mudah raib dalam kepentingan itu.  Pengakuan pun tidak boleh menuntut, apalagi memaksa pengakuan secara timbal balik. 

Kalau aku mau mengakui kamu, pertama-tama aku harus membersihkan kepentingan dan maksud-maksud terselubung (semacam pengosongan diri), kemudian membuka diri menerima dan mengakui kamu dalam kepenuhanmu. Aku tidak boleh menuntut dan/atau memaksa kamu mengakui aku. Sebab pengakuan semacam hadiah (lebih tepatnya, rahmat): diberi tanpa menuntut balas. 

Pengaku sejati ingin agar orang (orang-orang) yang diakuinya bahagia, bebas, dan merdeka. Sebaliknya pengaku yang berkepentingan ingin diri sendiri (dan kelompoknya) bahagia, bebas dan merdeka. Contoh kasus lebih besar, Papua. 

Krisis pengakuan adalah krisis relasional. Krisis pengakuan adalah krisis kemanusiaan. Krisis pengakuan negara akan warga negara sipil adalah krisis negara. 

Post a Comment for " Pengakuan dan Kebebasan"