Selamat Natal, Pascalie
Paskalia Wandira |
Di
sudut pekuburan ini barangkali debu menceritakan kembali kesepian dan
penderitaan yang amat menyayangimu, dan diam-diam aku sedang menulis surat
cintamu dari masa depan.
Aku tidak bisa membayangkan seandainya waktu dapat
disekap dan membiarkan segala sesuatu berhenti dalam diam. Bukankah kita dapat
mencatat semua peristiwa-peristiwa kecil yang luput dari dari perhatian waktu?
Bukankah Pascalie adalah surat cinta yang sempat ditulis Tuhan, tapi nyaris tak
dibaca oleh bumi? Langit telah menyibakkan diri agar Pascalie menjelma menjadi
manusia, laut yang luas, matahari, bulan, dan apa saja.
Di dinding rumah sederhana itu, kesepianmu
menggigilkan jam dinding, dan aku tidak menangkap apa-apa, kecuali bertanya
mengapa waktu tidak bisa berjalan mundur. Kalau waktu waktu berjalan mundur,
kita berjalan dari masa depan. Kalau kita masa depan, kita dapat menduga-duga
siapa yang menciptakan masa lalu dan kecelakaan esok?
Pascalie tidak perlu gerah, ketika membaca kembali
fragmen Natal yang dirayakan berabad-abad lamanya. Pascalie tahu Natal
sebetulnya bukan hanya perayaan mengenang kembali kelahiran Yesus ke dunia,
melainkan juga kelahirannya kembali. Kelahiran baru memang harus dirayakan,
sebab tidak semua orang dapat mengalami dan merayakannya. Tapi selama bertahun-tahun
ini, di manakah Pascalie merayakan kelahiran kembali?
Kalau saja aku dapat membunuh waktu, Pascalie tidak
perlu menderita, menyantap sepi dan akhirnya kematian yang tidak mesti dialami
oleh semua ciptaan. Akan tetapi, Pascalie, kematian sudah berhasil membunuh
Tuhan, bukan? Beberapa hari terakhir, aku sungguh tersiksa oleh tetangga-tetangga
kita yang membongkar kembali kisah kasih kita, dan detik-detik menjelang
kepergianmu. Aku coba tidak mendengar, tetapi kisah mereka makin melebar.
Dua kali seminggu, Pascalie seperti ibu dulu menjual
sayur-sayuran di pasar. Barangkali di sana Pascalie berkontak dengan orang yang
terjangkit pandemi Covid-19, sehingga Pascalie sendiri pun terpapar pandemi.
Karena itu, Pascalie harus melakukan karantina di ruang isolasi. Di sana, Pascalie
menjalani proses perawatan—perawatan bagaimana menikmati detik-detik kematian.
Nafas hidup pun memisahkan diri dari debu tanah. Bukankah begitu, Pascalie?
Pascalie tidak mampu menyiasati dan menunda kematian yang sia-sia itu.
Ketika aku tidak mampu memautkan kematian dan
kehidupan, aku hanya membayangkan Pascalie mengunjungi kami di sini. Atau jika
ayah lebih dulu muncul, barangkali ia melatih kami menghitung material untuk
membangun sebuah rumah. Sepeninggalannya, kami hanya memeluk kenangan dan
merawat penderitaan. Akan tetapi bukankah penderitaan hanyalah persoalan waktu
saja. Penderitaan tidak berubah—dan minggat dari manusia. Penderitaan begitu
dekat dengan manusia. Manusia yang berubah mesti mengubah penderitaan itu.
Dengan langkah kaku aku pergi bertamu di rumah
tetangga. Sore itu di beranda rumah, kami bercerita tentang wabah-wabah yang
pernah memusnahkan jutaan manusia sejak wabah Maut Hitam sampai Covid-19 ini.
Kami duduk berkerumun, tapi tetap menjaga jarak sesuai dengan protokol
kesehatan. Kami menyeruput kopi hangat dan semangkuk kue Natal. Angin berjalan
pelan, dan gumpalan awan hitam berjalan agak rendah. Lembayung di barat semakin
memerah. Anak-anak kecil tetangga sebelah bertengkar mulut merebut gayung dan
sabun; siapa yang lebih dulu mandi.
Suasana itu memutar ingatan aku pada belasan tahun
silam, ketika ayah masih bekerja di tanah rantau; ibu memukul kami gara-gara
merebut siapa yang mandi lebih dulu. Ketika ibu mau makan malam, ditemukannya
tidak ada nasi di periuk. Sore itu, aku tidak sempat menanak nasi, sebab aku sibuk
bermain dengan teman-teman di lapangan. Ibu menyuruh kami tidur saja tanpa
makan malam.
Sesekali dalam sebulan dari tanah rantau ayah
menelepon kami; dia hanya tanya apakah kami baik-baik saja, dan beritahu kalau
dia sudah mengirimi kami sejumlah uang. Ayah memilih merantau supaya
menghindari utang menumpuk dan tagihan belis bertubi-tubi. Di kota ini,
pengijon meminjamkan uangnya kepada peminjam, yang biasanya dibayar dengan
hasil panen sesuai harga jual di pasar. Pengijon memperutangkan dengan bunga yang
besar; pinjam satu juta, wajib dibayar dua juta. Pengijon mengeruk peminjam
sampai tidak berdaya.
Bertahun-tahun lamanya, ayah ibu bekerja sebagai buruh
kasar pada pengijon. Om Hasan yang meninggal dunia beberapa bulan lalu tidak
sempat membayar tuntas utangnya. Sebagai bentuk belangkusawa, pengijon memberi
karangan bunga, dan selembar nota sisa utang kepada keluarga yang ditinggalkan.
“Sangkulerong, apakah Christine pernah hadir dalam
mimpimu sesudah sepeninggalannya?” tanya tanta Valeria. Christine, nama
panggilan ibuku selagi masih muda. Om-om dan tanta Nova mengalihkan pandangan
ke arah aku; tersenyum memberikan isyarat agar aku menjawab.
“Iya, tanta.
Dua kali aku bermimpi dikunjungi ibu. Ia membelai kepalaku sambil berpesan
kuliah baik-baik, jaga adik-adik, dan jangan jual sehelai kain tenunannya.
Kedua, dia berpesan jangan marah lagi kepada adik-adik; jangan jual peralatan
tukang ayah dan ayah ibu bakal datang lagi, setelah aku menempel foto wisuda aku
pada dinding rumah.”
Semuanya diam, dan membiarkan cangkir-cangkir kopi
dijilati lalat-lalat liar. Om Peter, suami tanta Valeria bercerita panjang
lebar tentang masa mudanya bersama ayah; bagaimana ayah berpacaran dengan ibu,
sampai ayah melamar ibu.
Seperti biasanya, orang tua hanya hanya memuji masa
lalu; meragukan sikap anak-anak generasi sekarang, dan menasihati banyak
hal—yang belum tentu mereka sendiri berhasil dan bebas dari kenakalan pada masa
mudanya. Ketika mereka sudah menjadi tua, mereka membuat diri menjadi orang
yang berpengalaman dan berpengetahuan luas dengan menasihati, dan menjelaskan
panjang lebar tentang satu hal.
Hari makin gelap dan lampu-lampu kota kian
terang-benderang. Sebentar lagi ambulans yang mengangkut mayat-mayat korban pandemi
Covid-19 akan tiba dan melintasi jalan di kompleks ini menuju lokasi penguburan
baru di pinggiran kota. Aku pamit pulang ke rumah.
Setelah mendengar om Peter, akhirnya aku yang jadi
tua; mengingat kembali peristiwa-peristiwa bersama dengan ayah ibu dan Pascalie.
Barangkali aku memiliki penyakit yang sama dengan om itu; masa lalu yang serba
bahagia dan tidak mungkin diulang lagi. Setiap pengalaman dapat bertahan lama,
karena direproduksi berkali-kali.
Di ruangan tamu, aku duduk dan meratap; potongan-potongan
cerita bersama ayah ibu dan Pascalie bercerita; dari dapur ibu memanggil kami
makan malam; ayah yang memangku Grei, si bungsu sambil bercerita tentang
legenda-legenda; Silvano yang menangis karena tidak ditemukan celananya di
lemari; anjing-anjing kecil berkeliaran di dalam rumah; kertas koran di dinding
yang diterpa angin; bunyian seng yang dihantam ranting-ranting kering, buah
mangga dan daun kering; dan aku yang menyibukkan diri dengan buku-buku pinjaman
di perpustakaan sekolah.
Di luar rumah anjing melolong. Apakah di luar sana ada setan? Biasanya kalau anjing melolong sore-sore
begini, gerombolon setan sedang berjalan mencari mangsanya. Apalagi malam ini
malam jumat. Silvano dan Grei ke mana saja, padahal di luar sudah gelap? Aku
berkata pada diri sendiri. Tadi siang Silvano dan Grei—yang dimintai bantuan
tanta Ratna untuk menjaga bayi mungilnya, karena dia harus mengerjakan beberapa
pekerjaan di rumah—tidak kunjung pulang. Tiba-tiba Silvano dan Grei mendobrak
pintu, dan masuk sambil menjinjing kantong plastik berisi penganan. Grei beraroma
susu bayi, dan Silvano berbau pakan babi.
Sirena ambulans yang mengangkut mayat-mayat korban pandemi
Covid-19 mendengung keras di depan jalan.
“Kak, sudah bakar lilin di rumah ayah? Semoga ayah
berdoa untuk kesembuhan ibu di rumah sakit.’’ kata Silvano. Grei, si bungsu sibuk
mengemil sendiri di dalam kamar.
“Belum, dek. Kakak tunggu kalian. Hehehe. Yuk kita ke
sana.” Aku membungkus apik satu demi satu kedukaan ini.
Kami membakar lilin di kuburan ayah. Sampai kapan pun
kami tidak bisa membakar lilin pada kuburan ibu; sebab kami tidak pernah tahu
di mana ibu dikuburkan di kota ini. Bahkan kami tidak sempat melihat wajah ibu
setelah hari terakhir kami mengunjunginya di ruang isolasi di rumah sakit. Kami
tidak diizinkan untuk bercerita lama dengan jarak dekat dengan ibu dan
berpelukan. Di ruang isolasi itu ibu dan Pascalie sedang mengikuti tahap-tahap
kematian yang tragis.
Hari-hari ini tiap kali Silvano dan Grei memaksa aku
mengunjungi ibu dan Pascalie di rumah sakit; aku beralasan pihak medis melarang masuk. Kalau ibu sudah sembuh, ia
akan pulang ke rumah. Sampai sekarang, mereka tidak pernah tahu ibu dan Pascalie
sudah meninggal dunia tiga minggu yang lalu, karena terinveksi pandemi
Covid-19.
Menurut Kitab Suci manusia dibentuk dari debu tanah
dan diembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; menjadi makhluk hidup. Ayah ibu dan
Pascalie sudah kehilangan nafas—dan tubuhnya kembali menjadi debu, menyatu
dengan debu-debu yang lain. Kami tidak mungkin melihat debu mereka bernafas—dan
hidup; menceritakan fragmen pengalaman sepi-hampa selama di ruang isolasi;
detik-detik kematian tanpa menangkap wajah anak-anak dan mendengar ratapan
kami.
Di dekat kuburan ayah ini, kami duduk dan meratap;
mendengar debu berkisah tentang ayah—dan semoga debu membaca ulang obituary ibu
dan Pascalie. Di dekat kuburan ayah ini—barangkali debu menceritakan kembali
penderitaan dan kesepian detik-detik terakhir ibu dan Pascalie, dan kami akan
menulisnya. Di dekat kuburan ayah ini, bersama air mata kami yang jatuh ke
tanah, di mana debu ayah akan bertemu lagi dengan debu ibu dan Pascalie—mereka
bersatu menghapus dan membunuh serangan penderitaan atas hidup kami. Di sudut
pekuburan ini barangkali debu menceritakan kembali kesepian dan penderitaan
yang amat menyayangimu, dan diam-diam aku sedang menulis surat cintamu dari
masa depan. Selamat Natal Paskalie.
*Melki Deni adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur. Ia sering menulis cerpen,
puisi, esai dan artikel-artikel popular pada koran lokal ataupun koran
nasional.
*Cerpen ini pernah terbit di Vox NTT.com pada 25 Desember
2020.
Post a Comment for "Selamat Natal, Pascalie"