Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Simfoni dan Puisi lainnya

Melki Deni

Seketika Itu


Daun-daun basah sehabis malam mengaruniakannya butir-butir hujan. Kausaksikan kabut pelan-pelan mendaki bukit, seketika burung-burung mencicit kecil-kecil, mengepakkan sayapnya kecil-kecil, dan mempercepat tibanya cahaya. 

Di situ, bantal pun tak pernah mengeluh, ketika air di mata memandikannya tiap kali kau tak merdeka dari dari rindu, yang mengoyak-ngoyakkan malammu. Di luar pintu, mimpi pun enggan masuk ke dalam tidurmu, kecuali mengitari ruangan itu, jangan-jangan kau dikeroyok oleh sepi yang memabukkan itu.

Kaueja setia, menafsirkan mengapa bulan bercermin pada matamu, seketika itu sepi masih bertamu di rumah tetangga, atau ke luar kota!


Simfoni

 

Malam Minggu tidak menyentuh kesepianmu,

yang masih berdenting sampai di sini. Hujan pun sesaat terhenti, seketika petir pun terkapar dikeroyok rindu yang tak lepas dari waktu, di sana soneta menangkap makna tarian embun dan cahaya.

Kutulis puisi ini; memulihkan kembali potongan peristiwa yang sempat singgah, dan melintas,

sehabis melayang ke sana kemari, mempermainkan hujan, sehabis meringkas jarak, membantai keniscayaan sepi. Di sini di waktu yang tersisa ini,

kujadikan kau simfoniku, yang tak lekang dari sajak,

yang menari di atas puisi dan biola,

yang menjemputmu sampai ke tepian doa. Dan kita bertanya: Mengapa kita begitu singkat?

 

*Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero Maumere-Flores-NTT.

 

Post a Comment for "Simfoni dan Puisi lainnya"