Teater di Kota Kita dan Puisi lainnya
Teater di Kota Kita*
:buat Bryan Lagaor
Aku mau menyaksikan teater tanpa batas di kota
dari panggung sandiwara ke sudut-sudut duka kita
Aku ingin kata yang tidak pernah binasa mengalir di atas kertas putih hidup,
bercakap tentang kota kita kepada siapa saja
getir dipeluk duka yang tidak tercatat pada langit semakin tua
Aku ingin puisi yang menyerap siapa saja ke arah siapa saja
Menyeberangi bahasa yang mahaluas
Yang lebam di seberang sana, yang meringkih di sini
Menjemput kata yang terperangkap dalam kuasa mereka
Tenggelam dalam tumpukan agenda yang fana,
Yang memang tidak pernah ada di sana.
Aku ingin membela kota kita ke kata mereka
Menyusuri makna dari kota kita
Ketika awan tenggelam dalam dilema
Kuasa kota adalah teater bahasa yang mahaluas
Tiada gambar
Tiada kita
Tanpa rahasia
Tanpa basa-basi kecuali kuasa bahasa
Tanpa kata menjelma kita
Aku ingin menjadi seperti mereka yang tak mengenal kota kita
Tanpa suara
Tanpa dusta
Tanpa warna yang membentuk pigura
Lanskap duka mereka adalah lensa abstrak
Mereka yang tak pernah menyaksikan teater tanpa kata di kota kita
Kita dan mereka adalah kosakata dusta
Tapi kosakata kita lenyap di panggung utama
Di panggung utama
Kota kita, mereka dan kata
Adalah hampa
Seperti neraka
Kata buta
Seperti dusta
Dusta!
Ledalero, 30 Oktober 2020 terkenang Monolog bertajuk Nokta
Di Kelas
kita barangkali paham:
tidak ada batas di kelas
yang memanjang ini
diktat yang tebal di atas meja dosen itu,
Papan tulis yang silau:
kalimat hitam yang terhapus di ujungnya,
dan podium yang berdiri sendiri di sana.
Kita menghitung ketidakpastian di sini.
Mengekalkan hari ini yang seolah memuat kita,
bahasa, laptop, ponsel pintar
dan sejarah.
*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Post a Comment for "Teater di Kota Kita dan Puisi lainnya"