Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tamu Pagi dan Puisi lainnya

Melki Deni

Tamu Pagi

Di depan cermin, tiba-tiba embun mengaburkan wajahmu, burung-burung kecil mencicit kecil-kecil di luar, sementara kupu-kupu menunggu matahari.

Orang-orang membuka pintu, menyambut berkat: menghindari kecelakaan. Mendadak kau mengembun dan bayangan berdiri melengkung di dalam cermin, membentuk setengah bundar. Kau tidak berani bertanya siapakah yang menganugerahkan wajahmu yang pucat pasi itu, dan siapakah gerangan memilikinya? 

Kota itu berjalan keluar dari tidurnya, dan kau pun masuk ke dalam sisa embun, kabut kecil, angin yang tidak memuat debu, dan riuh mesin kendaraan. Kau menyaksikan kupu-kupu malam, seperti kelelawar berbondong-bondong kembali ke sarangnya dengan rezeki yang dipungut di tempat tersembunyi.

Mendadak kaukirimkan namanya ke dalam kepalaku, lewat angin basah. Angin menerbangkan sisa-sia malamnya yang terkuras oleh ruang dalam gaib. Telah kusiapkan kepalaku, namanya menyusuri lorong-lorong doaku. Namanya kudoakan dengan aubade yang pelan-pelan raib oleh mesin dan bising kota ini. 



Kata Jatuh di sepanjang jalan 

dari Getsemani, Bukit Tengkorak sampai di sini. Siang itu kota menjadi basah, seketika dedaunan enggan jatuh ke tanah, sementara langit lebam. 

Kutulis sajak ini, ketika gerimis jatuh ritmis, Kata pun terserap di dalam tanah, pohon-pohon, gedung-gedung, gunung-gunung, sumur kecil, pintu, dan di antara larik-larik sajak ini. 

Di suatu tempat entah di mana, Kata ini bertemu dengan kata yang lain, kata-kata yang lain, dan yang lain lagi, sampai—jauh dari legenda dan sajak ini—semuanya menyatu menjadi Bahasa. 

Aku pun mengerti mengapa aku memungut Kata demi kata sepanjang jalan. Aku ingat nama penyair-penyair yang menyebabkan aku menulis sajak ini. Ketika berakhir usia, aku kembali terserap dalam Kata, raib dalam sunyi. 

*Melki Deni,  Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT. 

Post a Comment for "Tamu Pagi dan Puisi lainnya"