Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Percakapan Terakhir dan Puisi lainnya

Melki Deni

Percakapan Terakhir


Di sudut taman itu,

diam-diam kita menghapus usia dari buku

pada percakapan terakhir,

kemudian kita membuyarkan masa lalu

ke dalam kenangan yang retak itu.

 

“Kenangan bagaimanapun tidak bisa dibeli 

dan kenangan yang dikenang kembali tidak pernah lengkap, bukan?”

 

Percakapan terakhir menghilang.

Dan kita pelan-pelan berjalan keluar.

Tapi ke mana?

Kita bakal mengekalkan esok yang mungkin tidak pernah ada.

 

Seketika itu, kita belum menghitung kata dalam tanda waktu

Seperti kenangan makin rapuh

yang melekat dalam waktu

mengitari percakapan kita.

-Puisi ini pernah terbit di Vox NTT.com 



JALAN


Tuhan, 
dalam kegetiran aku berdoa dan bertanya  
Mengapa Tuhan mau menjadi hambaku? 

Tuhan, 
aku telah menjadi salibMu dari kekal hingga kekal
DeritaMu masih menggema sampai di sini

Tuhan pernah berkata: jangan pikul salibmu ya. 
Kenapa Tuhan? tanyaku 
Salib itu berat. Cukup Aku saja yang pikul. Kamu tidak kuat! kata Tuhan sebelum perhentian pertama.
Tuhan pun memikul salib-salib sepanjang kekal

Tuhan, 
Aku telah memikul seberapa berat salib itu
seketika pacarku tiba-tiba menjelma menjadi salib di hadapanku

Tuhan, 
Aku menulis puisi ini—mencoba mengubah salib menjadi pacarku, pacarku menjadi rindu, getir menjadi kenangan. 


*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT

Post a Comment for "Percakapan Terakhir dan Puisi lainnya"