Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berjalan Ke Seluruh Usia dan Puisi lainnya

Melki Deni
 
Berjalan Ke Seluruh Usia

aku berjalan ke Desember di waktu tengah malam,

lembar tanggal tergulung pelan dalam diam,
Usia mendahului langkahku dari depan

Aku berjalan menyaingi usiaku yang berjalan diam dan terus mengalir

Mendadak aku semakin miskin di belakangnya,

Aku mulai membaca kembali kisah, warisan dan surat cintaMu,

Kutemui diriku tak ada apa-apa, kecuali kuk masa depan. 

Nubuat yang nyaris tak sempat dibayar tuntas.

Aku dan masa depan tidak pernah tahu tentang
siapakah yang menciptakan usia?

Aku dan usia tidak pernah tahu tentang
siapakah yang lebih dulu menangkap kami; esok atau kecelakaan?

Aku dan esok pun tidak pernah tahu tentang
Siapakah yang menciptakan kecelakaan?

Ketika kaudoakan namaku, aku sedang keluar sebentar.

Ketika doamu sedang keluar, akulah doamu.

09 Desember 2020 Menjelang Ulang Tahunku


Di Meja Belajar Aku Duduk dan Menulis Puisi ini

Di meja belajar aku duduk dan menulis puisi ini. Ada kisah bahwa segala sesuatu yang ditulis di meja ini—puisi, hikayat, prosa, obituari, solilokui, fragmen—akan menjelma menjadi manusia yang menciptakan sejarah. Seandainya aku dapat menulis puisi dan terserap ke dalam sejarah, maka penderitaan dan kerapuhanku akan berakhir. Aku pun abadi. 

Di meja belajar aku duduk dan menulis puisi ini. Langit melukis rindu, dan udara pun berhenti. Ingatanku akan manusia—yang raib dalam fana dan sarat akan penderitaan—memilukan. Ingin rasanya aku dapat menghapus kematian—agar aku dapat menyaksikan sejarah berjalan dari waktu ke waktu. Suara pena ini terdengar di seluruh ruangan, dan aku merasakan kehadiran kematian mengikuti sepak terjang ke mana pun pena melangkah—melewati lorong-lorong nasibku! Di sana entah di mana, puisi ini akan dibaca oleh penyair lain, lalu penyair yang lain, penyair yang lain lagi. Semuanya berusaha mengabadikan sejarah dalam puisi, dan menfanakan diri sendiri.

Di meja belajar aku duduk dan menulis puisi ini. Semoga puisi ini mengalir ke arah siapa saja di sana, entah di mana, agar kefanaanku tidak pernah tahu bahwa aku pernah berusaha mengabadikannya. Semoga puisi ini mengalir ke arah siapa saja di sana, entah di mana, agar aku dapat melupakan bahasa yang miskin, samudra yang sempit, rindu yang dangkal, meja belajar, solilokui, gua Bunda Maria, biara, fragmen-fragmen yang sempat kutulis, dan cita-citaku setinggi langit itu. 

Ingatanku akan saat indah—ketika kita duduk di tepi pantai, melukis masa depan di pasir, dan menangkap isyarat-isyarat ganjil: kebersatuan asali—menggetarkan! Tapi aku tidak bisa! Aku dilahirkan ganjil, cacat dan kurang. Rasanya baru saja terjadi. Aku sempat menolak, aku bisa jatuh cinta dan sekejap kemudian lenyap. 

Aku menulis puisi ini di atas meja belajar. Langit-langitku kering. Mata berlinang. Pena ini mengalir begitu saja, seperti waktu dalam gaib. Aku tidak pernah tahu bilamana permulaan, bilamana berakhir. Tapi sulit kupercaya mengapa aku harus jatuh cinta? Sampai aku duduk dan bertanya untuk apa? Sejenak pikiran berhenti, ketika kau menelusuri lorong-lorong hidupku. Aku cacat, pucat dan nyaris pecat. 

“Bacalah! Membaca adalah cara orang-orang miskin mengelilingi bumi. Tulislah! Tidak semua orang sampai ke daerahmu! Membaca dan menulis adalah suami istri yang memperanakkan kata. Kata menciptakan sejarah!” kau berkata. 

Kalau saja kita dapat melintasi lembar bumi yang fana, atau seluruh isinya terserap dalam diri kita, maka kita tidak perlu kata. Tidak perlu puisi. Tidak butuh bahasa, bukan? Itulah sebabnya aku membaca—mencoba melipat lembar bumi menjadi kertas, pohon-pohon menjadi pena. Dan menulis—mencoba mengubah fana menjadi abadi, kau menjadi penggerak sejarah ini. Sehingga bila suatu saat nanti aku tak sanggup menulis lagi, aku membacakan puisi ini. Tapi bila mulutku kembali membisu, kaulah yang membacakannya,  ketika itulah puisi menjadi sejarah—sejarah yang menyebabkan aku ada. 

Di meja belajar dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu, aku mencabut perkataanku: Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (Ayub 42:5). Yang fana telah berlalu, tapi Puisi tetap ada. 

*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT

Post a Comment for " Berjalan Ke Seluruh Usia dan Puisi lainnya"