TAMARA dan Puisi lainnya
Tamara |
TAMARA
Ia lihat anak-anak kecil isap jari tangan dan derai air mata sisa dari tiang listrik,
sebab daun mulai berjatuhan.
Ia lihat gerombolan orang-orang tua serta anjing-anjingnya ketika awan masih merah pucat memperlihatkan bianglala di barat.
Mereka bercerita; derita, wabah Covid-19, dan obituari yang tidak sempat terbaca.
Kematian tanpa peperangan yang sengit; luka, ucapkan perpisahan dan saling menatap air mata yang mendidih mengalir ke cela-cela bumi.
Hanya dalam dua minggu langskap negeri ini menjadi lahan kuburan;
Buram,
Lebam,
Seram.
Kalimat-kalimat berjalan pelan. Media berita berkeliaran.
Dan barangkali tapak mereka tidak tercatat pada kitab, sejarah, dan peta.
Mungkin kita musnah oleh sajak kematian. Atau tangisan kita yang tidak mau mati dilahap pada angka dan lembar itu.
Hari ini ia benar-benar mati, sebab kemarin pada lubang kuburan ada ribuan mayat dibakar; hangus menjadi abu. Kemudian abu menjadi pupuk yang menyuburkan benih virus bernama baru di bumi ini. 200 tahun kemudian memusnahkan jutaan anak-anak manusia. Esok pada lembar yang fana kita hanya menjadi sumber sejarah; fiksi dan mitos.
Tamara, kekasihku, tulislah tentang hal-hal yang tidak tertangkap berita seperti sediakala.
Asap-asap mayat yang dibakar mengitari kota, lepas dari waktu.
Dalam bayang-bayang dan merenung,
Kaubaca surat yang sempat kubalas,
Kaubalas surat yang tak sempat kubaca.
Maumere, 5 Aprill 2020
Pandemi Covid-19
AKU TAKKAN BERHENTI
Aku takkan berhenti menunggumu, dengan setangkai kanigara di bawah
musim panas yang sedang melanda negeri ini.
Kemarin beberapa rintik hujan berderai di pohon, lalu pergi melepaskan embun bisu.
diam-diam aku merayap; menghitung tiap kali embun beri isyarat kepada kupu-kupu.
Pesawat kertas terbang di atas pohon itu, meneduhkan kupu-kupu. Lalu pesawat kertas itu menerbangkan kupu-kupu ke arahmu.
Aku tak pernah tahu mengapa kupu-kupu terbang ke arahmu. Namun aku takkan berhenti menunggumu sampai musim panas memulangkan kupu-kupu dan membawa kabar.
Di bawah musim panas ini, aku takkan berhenti mencatat isyarat-isyarat yang sempat kau sembunyikan dari rintik hujan kepada embun. Di tempat ini, potongan-potongan cerita membentuk sliuet, dan aku menyaksikan diriku sendiri sedang menunggumu.
barangkali pesawat kertas melintas di udara, aku menangkapnya, dan kau belum ada di sana. Meskipun menunggu memotong usia, tapi aku takkan berhenti.
20 Mei 2020
SumpahMu Abadi
Sungguh kusyuk pun aku di hadiratMu.
tak tahu: aku tidak bisa memisahkan kenangan, sekarang dan bayang.
Angin lagi istirahat, ketika hujan dingin meribut di pekarangan,
malam ini pun bumi masih seram; kejam.
doaku mengecil, tiba-tiba hampir yang segalanya dari yang kurang hilang,
setelah mengarungi samudra dan melintasi lembar bumi,
setelah menelan derita, dan mengapa kami dibiarkan bahagia?
meski dengan suara yang tak mungkin terdengar lagi di sini.
sejak itu, aku pun melahap sumpahMu; suratan bagi yang bisa melewati rahim,
yang dari alfa dan bakal omega. Sumpah itu yang berbicara di dalam aku dan yang lain,
yang masih sisa. Dan bersumpah dalam hatiMu;
Aku takkan kutuk bumi lagi, selama bumi masih ada.
*Puisi Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Post a Comment for "TAMARA dan Puisi lainnya"