Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Olahraga dan Investasi Intelektual (Apresiasi atas Artikel Fr. Ricky* dan Fr. Oscar** tentang Filsafat dan Bola)

Melki Deni
 

Judul di atas terkesan paradoksal, tapi sesungguhnya keduanya tidak terjebak dalam permainan patgulipat. Saya sengaja menancapkan term olahraga sebagai tandem investasi intelektual untuk menjajaki tema seputar kesehatan raga dan kecekatan intelektual dalam memahami, mempertimbangkan dan memutuskan persoalan tertentu.

Acuannya beragam, seperti penyakit-penyakit, kemalasan, kelambanan, kekakuan, keengganan, temperamen, kelabilan emosional, api kemarahan yang tak terkendali dan seterusnya. Hal-hal ini bisa saja berujung pada insomnia, tidsoptimist, cherophobia, psikopat dan kemurungan yang tidak wajar. Tentu saja penyakit-penyakit tersebut tidak hanya berkaitan erat dengan kondisi psikologis dan psikoneurosis penderita, tetapi juga kondisi sosio-biologis dan intelektualitasnya. Dengan demikian olahraga tidak hanya bermanfaat bagi raga, tetapi juga bagaimana seseorang mengolah emosional, psikologis, sosio-biologis dan pengasahan intelektualnya. Tulisan ini hanya berfokus pada kata-kata kunci: olahraga, intelektualitas, dan biara.

Pada dasarnya biara dapat dipahami sebagai tempat tersalurnya bakat dan hobi—aspek pengetahuan (scientia) dan kesehatan (sanitas)—selain beberapa aspek penting yang dapat menunjang penghayatan panggilan hidup, seperti kekudusan (sanctitas), kebijaksanaan (sapientia), dan solidaritas. Itulah sebabnya biara bukan hanya sebagai house, melainkan  juga terutama sebagai home. Pemahaman di atas tidak bermaksud mengangkangi pengertian dan penjelasan yang ditetapkan oleh Dekrit Optatam Totius[1] dan dokumen-dokumen gereja lainnya.  Olahraga adalah aktivitas biologis, dan kita semua tahu, seorang yang berolahraga tersebut merupakan calon imam yang senantiasa bergelut dengan pengetahuan (intelektualitas), kekudusan, dan kebijaksanaan.

Tentu saja tidak ada yang aneh apabila calon imam (religius) menjadi intelektual (religius-intelek) sekaligus religius-olahragawan. Barangkali kita bingung dengan pernyataan tersebut. Akan tetapi yang saya maksudkan ialah hubungan antara keduanya saling keterkaitan dan tidak boleh terpisahkan. Religius-intelek adalah orang-orang yang bergelut dengan kekudusan, pengetahuan, solidaritas, kesehatan, dan kebijaksanaan, demikian pun religius-olahragawan memperjuangkan kesehatan dan pengetahuan. Religius-intelek bergelut dengan dunia dalam (in door), sedangkan religius-olahragawan berurusan dengan dunia luar (out door).

Religius-intelek berjuang menangkap realitas, menafsirkan dunia-kehidupan, mempertimbangkan dan memutuskan nilai-nilai, sedangkan religius-olahragawan berusaha memberi makna kepada realitas. Jika religius-intelek bekerja dengan permenungan dan menginvestasi aset-aset pengetahuan dan kebijaksanaan, religius-olahragawan berkiprah dengan ketahanan kuda-kuda, kecekatan, kegesitan, dan kelincaan dalam permainan. Pada batas-batas tertentu seni pemahaman religius-olahragawan tidak dapat menangkap makna-makna yang diutarakan oleh religius-intelek, demikian pun religius-intelek tidak mampu memahami dan menjelaskan kelincaan religius-olahragawan dalam permainan.  Di sanalah prestasi keduanya berbeda, namun baik religius–intelek maupun religius-olahragawan tidak mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.  

Prestasi religius-intelek diukur berdasarkan kecakapan menangkap, memahami, mendalamnya refleksi dari pesan dan impresi-impresi kehidupan (dunia-makna), kemudian mengolahnya menjadi pesan/inspirasi bagi yang lain, sedangkan prestasi religius-olahragawan diukur berdasarkan kesehatan, pengolahan emosional, dan seberapa orang mengisahkan kekaguman mereka akan seni permainannya. Prestasi religius-olahragawan membuat penontonnya menangkap seni permainan sebagai seni kehidupan lebih banyak, sedangkan religius-intelek mengajak masyarakat dunia agar memaknai dunia tidak melulu terjebak dalam pragmatisme, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan refleksi diri dan idealisme. Dengan demikian dunia-kehidupan baik dunia-dalam (in door) maupun dunia-luar (out door) saling berkaitan dan berkontribusi penting bagi kehidupan manusia pada umumnya, dan calon imam, khususnya. Dan dalam konteks dunia-kehidupan calon imam, biara adalah rumah (home) yang mempertemukan, menyinergikan dan menjamin keduanyakegiatan olah-intelektual dan olahraga.

Investasi Diri dan Bahaya Pemborosan

Seperti tulisan yang dihasilkan oleh religius-intelek ditukarkan dengan uang dalam sistem ekonomi pasar bebas, setiap prestasi yang diperoleh religius-olahragawan rentan dimanipulasi, diakumulasi atau dijualbelikan untuk kepentingan pembeli. Jika demikian, maka prestasi baik religius-intelek maupun religius-olahragawan berlaku sebagai modal.

Seperti kita tahu, dalam sistem ekonomi pasar, prestasi-prestasi individu tidak tumbuh atau tidak bernilai apabila tidak diubah menjadi modal. Apabila seorang individu mengubah prestasinya menjadi modal, maka prestasinya itu dapat bernilai dan berguna. Di sini seolah-olah tanpa diubah menjadi modal, prestasi tidak bernilai atau berguna.

Akan tetapi hal inilah yang sering terjadi, tidak sedikit orang enggan mengembangkan dan memperjuangkan prestasi dirinya karena tidak mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Dirumuskan secara sederhana: seseorang dapat mengembangkan dan memperjuangkan prestasi dirinya apabila prestasi itu ditukarkan dengan uang atau dibeli oleh pemilik modal. Kalau prestasi diri tidak dibeli, ia tidak perlu dikembangkan dan diperjuangkan.

Prestasi diri dapat mencapai skala gigantis dan luas (popularitas), apabila dilakukan dengan mengubah prestasi menjadi modal seperti dalam sistem ekonomi pasar bebas untuk menggaet popularitas dan meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sirkulasi prestasi itu dikelola atau diakumulasi dalam bentuk investasi prestasi dalam kerangkeng bisnis. Berkat investasi bisnis pasar bebas, prestasi diri sekali lagi dikosentrasikan atau dikelola demi tujuan bisnis modal semata. Misalnya olahragawan yang terkenal. Mereka akan berlaga kalau ditawarkan dengan sejumlah hadiah/ uang atau bentuk apresiasi lainnya dari pemilik modal dan negara.

Di dalam kehidupan membiara, fenomena seperti di atas juga rentan terjadi. Di biara, ada banyak fasilitas yang dapat menunjang dan mendukung usaha perkembangan bakat dan minat para calon imam. Boleh jadi, calon imam yang tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari sesama anggota biara atas prestasinya lewat diskriminasi, stigimatisasi, stereotipifikasi, marginalisasi dan pengabaian, akan memutuskan berhenti atau tidak melanjutkan hidup membiara dan mencari pengakuan dan dukungan di luar biara. Sebelum calon imam itu berhenti, ia sudah memiliki deposito atas prestasinya. Dan seperti kita tahu, di bawah pelbagai tekanan/represi atau krisis pengakuan dari luar, prestasi diri lebih cenderung dikembangkan secara individual daripada kolektif/komunal. Di sini ada dua hal yang menjadi penyebab. Pertama, anggota komunitas kurang memberikan apresiasi, dukungan dan pengakuan atas prestasi seorang calon imam. Atau, kedua, seorang calon imam terlalu sibuk mengembangkan dan memperjuangkan bakat/minatnya meskipun dengan melanggar aturan-aturan kehidupan komunitas biara. Yang pertama berkaitan dengan aspek solidaritas sebagai komunitas, sedangkan yang kedua memboroskan prestasi. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan praksis hidup membiara sebagai komunitas religius.

 

Keutamaan Kita: Melintasi Batas

Memadukan dunia-dalam dan dunia-luar bukanlah hal yang mustahil bagi calon imam. Calon imam menarik diri dari keributan dan kebisingan (out door) dan masuk ke keheningan dan kesunyian batiniah (in door) di dalam komunitas biara. Di dalam biara seseorang tidak hanya menemukan kembali diri yang hilang dari kebisingan dan keributan di luar diri, tetapi juga menemukan inti diri, batas-batas horizon dan proyek kehidupan ke depannya. Melalui kegiatan-kegiatan rohani, diskusi ilmu pengetahuan dan filsafat, syering Kitab Suci/rohani bakti sosial, kerja tangan, dan saling membantu/melayani (hospitalitas), dapat membantu calon imam untuk menemukan kembali diri, kejelasan motivasi, kestabilan emosional dan kedewasaan intelektual dalam menghayati panggilannya.

Biara identik dengan hening dan sunyi. Biara juga identik dengan orang-orang yang berbakat, berciri persaudaraan, kesederhanaan, kejujuran, cinta kasih, persekutuan/komunitas, internasionalitas, saling mengakui dan solidaritas. Itulah sebabnya tidak sedikit kutu buku, kuli tinta, volunteer dan pejuang-pejuang keutamaan yakni kemanusiaan, lahir dari sana. Biara mereproduksi manusia/ calon imam yang berkeutamaan, suatu fondasi dasar yang sangat diperlukan untuk kemanusiaan universal yang berketuhanan. Biara membutuhkan calon-calon yang berani berpikir, menolak penundukan, represi, diskriminasi dan marginalisasi, mengemukakan aspirasi yang berbeda, dan bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan negara/kekuasaan politik yang diskriminatif.  

Dekrit Optatam Totius mengajak calon imam dan imam supaya sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya calon imam dan imam menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan anatara mereka sendiri.[2] Hal ini mestinya tampak dalam kehidupan membiara: saling menghargai, mendukung dan mengapresiasi bakat/ minat sesama anggota komunitas, selain kegiatan rohani, kerja tangan, meditasi, kontemplasi, dan syering Kitab Suci/ rohaniah.

Sikap saling menghargai, mendukung dan mengapresiasi prestasi sesama anggota komunitas merupakan keutamaan hidup orang-orang biara. Keutamaan itu kemudian dapat dipahami sebagai aset yang harus diinvestasikan secara komunal. Bila saatnya tiba para individu sudah memiliki deposito keutamaan, terutama dalam karya-karya kerasulan di medan pastoral. Dan bagi yang memilih jalan panggilan lain/ awam, juga sudah memiliki investasi intelektual dan bakat selama di biara, sehingga ia tidak laki canggung dan kaku di luar sana.

Berdasarkan penjelasan di atas, olahraga dan investasi intelektual adalah latihan yang menarik dan harus dalam hidup. Keduanya tidak boleh diandaikan atau mengutamakan yang satu kemudian mengabaikan yang lain, tetapi diperjuangkan dan dikembangkan secara bersamaan. Keduanya tidak boleh dipandang dengan kacamata sebelah, tetapi harus seimbang. Olahraga tidak lebih penting daripada olah intelektual bagi dunia-kehidupan manusia. Keseimbangan keduanya adalah keutamaan manusia demi kebebasan berpikir dan kesehatan raga. Bukankah proyek intelektual tanpa olah-raga pada hakikatnya adalah sebuah usaha mengundang penyakit dan mempercepat kematian? Dan bukankah olahraga tanpa olah intelektual dapat meningkatkan kebodohan dan memperlambat peradaban?

Ignas Kleden menutup Kata Pengantarnya pada Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad dengan pertanyaan: “Bolehkah kita menanam rumput sekalipun kita bukan tukang kebun atau ahli ilmu tumbuhan? Bolehkah kita bersimpati kepada Perang Kamboja sekalipun kita bukan politikus atau ahli hubungan internasional? Bolehkah kita berbicara tentang dosa dan rindu kepada Tuhan sekalipun kita bukan ahli agama atau pemimpin umat?”[3] 

Kita akan tampak tidak goyah oleh pemandangan yang mereduksi entah olahraga entah intelektual, malah kita berdiri di atas wadas yang kuat (keutamaan), yakni kesehatan raga dan kebebasan berpikir. Sekali lagi, olahraga dan olah intelektual merupakan proses yang menarik dan latihan yang nikmat. Kalau Anda tidak percaya, sila Anda mencobanya sendiri.

Saya ucapkan terima kasih kepada Fr. Ricky dan Fr. Oscar. Tanpa kajian kritis mereka, saya tidak bisa tulis artikel sederhana ini. Artikel ini ditulis oleh religius-intelek, tentu saja ada begitu banyak kekurangan. 

*Artikel Fr. Ricky: Peran Sepak Bola dalam Membentuk Peradaban Hidup Manusia

** Tanggapan Fr. Oscar atas Artikel Fr Ricky: Filsafat dan Bola



[1] Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawirayana SJ, Optatam Totius (Jakarta: Obor, Cet., XII, 2013), hlm. 275-298.

[2] Ibid., hlm. 277; 287.

[3] Ignas Kleden,“Eksperimen Seorang Penyair”, dalam Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2 (Jakarta: Percetakan PT Temprint, Cet. 2, 2012), hlm. xiii-xxx. Dalam Kata Pengantar tersebut, Ignas Kleden menulis secara komperehensif perihal penyair dan sekaligus penulis yang terjun ke kompleksitas realitas. Ignas Kleden menulis “penyair berurusan dengan dunia-dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia-luar. Yang pertama menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkan fakta. Begitulah, kalau wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan. Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya.

Post a Comment for "Olahraga dan Investasi Intelektual (Apresiasi atas Artikel Fr. Ricky* dan Fr. Oscar** tentang Filsafat dan Bola)"