Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sudah Lama Maut Memotret dan Puisi lainnya

 

Melki Deni

SUDAH LAMA MAUT MEMOTRET*

/1/
Tiba-tiba berhentilah! 
Tak ada yang sanggup menjaring duka, 
Menyumbat derita, yang terlampau dekat. 
Sedekat kematian.  Tak ada garis batas,
Itulah sebabnya  kita yang tak waras tak henti-hentinya mencari dan 
mengekalkan yang tak kelihatan itu. Dan pengetahuan berubah menjadi 
yang melampaui yang tak ada batasnya itu. 

/2/
Menjelang malam, suka kubayangkan mereka yang tidak beragama,
Yang tidak memburu pengetahuan memasuki jurang yang tak berdasar. 
Menjelang pagi suka kubayangkan diriku duduk di rumah ibadat nan mewah,
Mengutuki yang tak hadir, memuji pemberian, dan bersyukur tidak pernah menjadi miskin telantar 
Dan terbuang di antara para pemulung! 
Menjelang sore, suka kubayangkan diriku memotret senja di seberang sana, 
Menepis orang-orang yang baru pulang dari kebun, mengecam mereka sebagai yang tak berguna dari kumpulan sampah di pinggir jalan. 

/3/
Belum lama kau datang dengan sebilah pisau di moncong mulut, 
Dan suara itu berbisik: berhentilah mencari kebebasan! Berhentilah menangisi dukanya yang tak tercatat pada bola mata! Berhentilah mencari pengakuan! Berhentilah bermain dengan kelaminmu! Berhentilah menyalakan obor di bawah siang! Berhentilah bernyanyi di kamar mandi! Berhentilah mementaskan teater pemulihan di atas panggung sandiwara! Di atas panggung sandiwara! Panggung sandiwara! Sandiwara! Tak ada yang waras! Kecuali yang tak waras!

/4/
Ketika aku terbaring sakit seperti ini, 
Suka kutangisi kerakusan yang tak waras lagi di sana
Ketika aku terbaring sakit seperti ini, 
Suka kusesali ketamakan yang tiada batasnya di sana, 
Ketika kematian berdiri di pintu, menjemputku pulang, 
Orang-orang miskin, terbuang, telantar, sampah, dan yang idiot itu 
Tak henti-hentinya mendoakan keselamatanku! 


Lupa Dipotret

Kita bukan berasal dari Kata, 
Tapi senja yang tak sempat ditulis ke arah siapa-siapa! 
Kemudian Kata mencuri kita dari abadi, yaitu Senja.
Sisa yang abadi dalam kita adalah cinta,

Sejak langit seperti panoptikum
menciptakan bumi yang tidak merata seperti kita pada waktu 
mengalir ke sudut-sudut catatan pinggir, dekat pintu kuburan
Sejak sisa air bah menggigilkan bumi, 

Kata bilang itu tidak seberapa, lagian Senja abadi. 
Biarpun bumi hangus berlalu, tapi Senja tidak akan berlalu! Seperti ibu 
sayang akan anaknya. Meskipun berkali-kali  anak merebut keabadian ibu dengan memusnahkannya! Setelah Senja mengandung cinta, Kata dan melahirkan anak, ibu kehilangan abadi, bukan? Ia abadi dalam anak, yang mengandung ibunya! 

Apakah kauyakin cinta yang kauisyaratkan kepada Senja adalah kata? 
Itu bilangan, yang mempersingkat usia
Apakah kauyakin lanskap yang kaupotret untuk bumi adalah senja? 
Itu ibu, yang mengandung cinta, Kata dan kita

Biar duka penuh, 
Membayangkan Senja memulihkan seluruh

Puisi Sudah Lama Maut Memotret meraih juara III dalam lomba tulis dan membaca puisi yang diselenggarakan oleh Sie Sastra SEMA STFK Ledalero 2020.

*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.  

Post a Comment for "Sudah Lama Maut Memotret dan Puisi lainnya"