Surat Untuk Ibu dan Puisi lainnya
Lukisan Meylan Erilian di Museum Bikon Blewut-Ledalero |
Hari terakhir aku melihatmu, ibuku sayang,
ketika aku sedang memperjuangkan nasib bangsa
dan agama di dunia luas.
Teringat masa kecil, tiap malam ibu membacakan puisi Surat Dari Ibu karya Asrul Sani; pergi ke dunia luas, anakku sayang, pergi ke hidup bebas. Selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinar daun-daunan dalam rimba dan padang hijau. Lalu ibu mengelus kepalaku sambil menyanyikan nina bobo; kalau aku tidak bobo, digigit nyamuk. Tiap pagi aku bernyanyi; bangun tidur kuterus mandi. Tidak lupa ibu menggosok gigiku. Habis mandi kutolong ibu, menghabiskan nasi goreng. “Belajar untuk hidup” ditulis ibu sebagai pengganti namaku pada halaman pertama buku tulis.
Sejak sekolah aku menyanyikan lagu kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang. Sampai kini Ibu Pertiwi selalu lara, merintih dan berdoa untuk penderitaan; kemiskinan, penyakit, penindasan, dan kesepian di nusa dan bangsa ini, bu! Meskipun aku sudah tahu pedoman, aku masih belum bisa datang kepada ibu.
Hari terakhir aku melihatmu, ibuku sayang,
ketika aku tak sempat pulang,
kembali ke pelukan hangat, ibu. Ketika tak sempat ku rayakan syukur dan membayar air susu ibu yang tak mungkin kubayar tuntas. Namun di dunia luas ini, ibukku sayang, aku tetap bercerita; “tentang cinta dan hidupku pagi hari bersama ibu”.
Pada malam-malam yang tak pernah diam, aku bernyanyi ditemani bayangan senyuman ibuku sayang, seperti ibu bernyanyi untuk ibumu sayang: Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya, menyinari dunia.
Apakah ibuku sayang mempunyai hari terakhir bersamaku?
Aku tahu ibuku tersayang sudah lupa hari terakhir bersamaku;
ibuku tersayang tidak mempunyai hari terakhir bersamaku, bukan?
HARI INI AKU LUPA
Hari ini aku lupa; berapa kali aku kentut? Kentutku
mengandung humor—membuat orang tertawa bahagia, atau membuat
orang menderita dan berdosa, sebab mereka tidak bebas, dendam dan bergosip tentang kentut yang lupa kuhitung dan menyaring baunya.
Hari ini aku lupa menghitung; berapa kali aku kentut? Seperti aku
lupa menghitung berapa kali beberapa media sosial internasional memberitakan; Unjuk rasa yang masif di Amerika Serikat—kerusuhan sosial, kekerasan, penjarahan, dan vandalisme, setelah kematian George Floyd, pria berkulit hitam di Minneapol; tumpang tindih kebijakan mengatasi pandemi di tanah air—termasuk pandemi ketakutan pluralisme dan pengebalan sentimen keagamaan. Berita-berita itu mendatangkan rezeki—adil, makmur dan bahagia? Atau mempermainkan angka penderitaan. Lalu, kentut lagi, yuk?
Hari ini aku lupa; berapa kali aku kentut? Kentut itu
membawa bencana— seperti 21 Januari 2020 pasutri di Sumetera Barat dibacok tetangganya, tapi
sebagian orang mati karena tidak bisa kentut.
Hari ini aku lupa menghitung; berapa kali aku kentut? Kentut
menjadi peluang bisnis—tahun 2007 Christian Poincheval menemukan pil kentut beraroma; cokelat Natal, bakung May Day, jahe St. Valentine, violet dan mawar, dijual mahal.
Hari ini aku lupa; berapa kali aku kentut? Kentut
yang memberi tanda bahwa aku bisa kentut lagi setelah hari ini,
sebab hidup tanpa kentut ialah hidup yang tak layak dihidupi.
*Melki Deni, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
Post a Comment for "Surat Untuk Ibu dan Puisi lainnya"